Rabu, 14 Februari 2018

Nenek Moyang Orang Moronene Tidak Tahu Meminta Maaf.


Bahasa merupakan pokok penting dari dari suatu budaya. Menurut Sturtevent: "bahasa adalah sistem lambang sewenang-wenang, berupa bunyi yang digunakan oleh anggota-anggota suatu kelompok sosial untuk kerja sama dan saling berhubungan".
Manusia merupakan mahluk yang memiliki "sense of social" sehingga ia disebut mahluk sosial,  oleh karena itu ia membutuhkan bahasa untuk aktualisasi diri dan kelompok. Dengan potensi itu, manusia membentuk lambang-lambang untuk membedakan dan memberi nama,  membatasi cara-cara berpikir dan pandangan  yang  bersangkutan terhadap fenomena dan realitas yang ada disekitarnya. Pada akhirnya manusia memakai bahasa untuk mengungkapkan kedalaman makna nilai-nilai budayanya dan hal-hal yang supra natural.
Bahasa tidak pernah lepas dari kontek budaya dan keberadaannya selalu dibayangi oleh budaya. Bahasa adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat pengguna bahasa tersebut. Degradasi budaya akan mempengaruhi bahasa yang dipergunakan oleh komunitas budaya.
Menurut para ahli komunikasi, ada tiga kata ajaib dalam hubungan manusia yang membuat hubungan itu berjalan hamonis dan konstruktif yaitu "tolong, maaf dan terima kasih". Dua kata terakhir ini tidak terdapat dalam bahasa Moronene. Dalam penerjemahan Injil Perjanjian Baru oleh Dr. David Anderson dan team, kata "maaf" diterjemahkan dengan "ma'apu", kata ini bukanlah murni bahasa Moronene, tetapi pengadopsian bahasa Indonesia, itulah juga mengapa penulis mengatakan "Nenek Moyang orang Moronene" sebab mereka pencipta budaya dan penutur pertama bahasa Moronene. 
Dalam pernyataan penulis sebelumnya, penulis mengatakan bahwa Nenek Moyang orang Moronene tidak pandai meminta maaf. Pernyataan ini pertama-tama didasari oleh kenyataan dalam bahasa Moronene tidak terdapat kata "maaf".  Ambil contoh  dalam bahasa Jawa terdapat kata maaf yaitu "ngapuro atau ngapunten", lalu apakah dengan demikian nenek moyang orang Moronene berbudaya rendah dibanding suku-suku lain? Dengan tegas penulis katakan tidak! Bahkan dengan bangga penulis mengatakan nenek moyang Moronene berbudaya sangat tinggi dan mulia.
            Walau dalam bahasa Moronene tidak terdapat kata "maaf" tetapi terdapat kata "tabea". Kata tabe memang dipergunakan oleh suku-suku lain yang berada di wilayah Sulawesi, tetapi dalam bahasa Moronene kata ini menemui penambahan yaitu "ea" (besar). "Tabe" sendiri berati "permisi, izin atau perkenan" sebelum melakukan suatu tindakan. Kata "tabea" bersifat panteisme. Kata "tabea" mengungkapkan kesempurnaan, yaitu kesempurnaan dalam motifasi, perencanaan, proses, dan harapan. Tabea bukanlah antisipasi "kesalahan dan kegagalan".
            Lalu apakah nenek Moyang Moronene berlindung didalam kata "tabea" ketika mereka melakukan kesalahan atau melanggar norma sosial serta adat? tentu saja  tidak!  Nenek Moyang Moronene, tidak mengenal kata "maaf", semua pelanggaran akan diselesaikan dengan "ko-hala", Ko-hala pertama-tama merupakan suatu tindakan "rekosiliasi" dan dalam tarap tertentu ia adalah hukum. Kohala memiliki tahap dan tingkatan yang disesuaikan dengan pelanggaran. Kohala sendiri mengungkapkan bahwa Nenek Moyang Moronene tidak memiliki budaya meminta maaf dalam proses verbal tanpa makna, tetapi dalam bentuk tindakan-tindakan perlambangan dan ritus yang sarat makna.

Pesan-Pesan:
1.       Ini adalah tulisan bebas, berhubung IQ penulis hanya 0,1 GB dan tidak tamat SD, maka mintalah saudara yg IQ 1 tera untuk memberikan referensinya.
2.       Nama group ini adalah "Bombana Cerdas" maka cerdas dan santunlah dalam menanggapi setiap statement.
3.       Ketiga, kalau bertemu saya jangan disate terlebih dahulu sebelum diajak ngopi dan jangan lupa dibayarin.
4.       Terakhir. mengenai "terima kasih" mohon Miru yg tulis....????


Salam damai..Hendra Amor.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar:

LITURGI IBADAH RAYA MINGGU

  1.    Nyanyian Pembuka: Aku Hendak Bersyukur Pada Tuhan   Aku hendak bersyukur pada Tuhan Kar'na keadilanNya Dan bermazm...