MORONENE
DAN DEMOKRASI
Demokrasi telah menjadi salah satu alat pengukur kemajuan
suatu peradaban, Menurut penulis bahwa
demokrasi adalah alat dan bukan tujuan. Indoesia sebagai negara
demokrasi telah meletakkan tujuan bangsa Indonesia pada pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 dan demokrasi adalah alat yang menuntun bangsa Indoensia meraih
cita-cita itu.
Moronene adalah salah satu bagian dalam keragaman bangsa
Indonesia. Indonesia seharusnya diwarnai oleh setiap kekayaan kearifan lokal
suku-suku yang berada di Nusantara ini. Pertanyaan penting dala kontek ini
adalah: Kearifan lokal apa yang dimiliki suku Moronene untuk mewarnai demokrasi
di bangsa ini? Pertanyaan kedua yaitu apakah Moronene memiliki konsep demokrasi
yang khas dan bagaimana konsep itu diaplikasikan?
Dengan data yang sangat terbatas,
keterbatasan ini pertama-tama diakibatkan oleh tidak adanya budaya menulis
dalam budaya Moronene, walaupun ada, hal itu baru saja dimulaikan akhir-akhir
ini. Suku Moronene masih berada disekitar budaya oral sebagaimana yang tertuang
dalam berbagai sastra oral Moronene diantaranya adalah “Kada,
Memulaikan tulisan singkat ini
pertama-tama penulis telah mengajukan beberapa pertanyaan kepada anak-anak
Moronene mengenai beberapa hal yang dapat menolong penulis untuk memahami bagaimana konsep
Moronene mengenai demokrasi. Pertanyaan yang diajukan diantaranya berkisar pada
sistem pemerintahan kuno yang berada di Moronene dengan mendefinisikan beberapa
sebutan yang ada di Moronene diantaranya adalah “Apua dan Mokole”. Dari
pertanyaan yang diajukan, secara umum jawaban yang diberikan bukanlah jawaban
jawaban dalam kearifan lokal Moronene.
Berdasarkan wawancara penulis beberapa tahun yang lalu terhadap
Alm. Idrus Kunjeng, penulis mendapat suatu definisi dan cerita (tradisi oral)
mengenai sejarah kerajaan Moronene. Bahwa pada mulanya orang Moronene tidak
mengenal yang namanya Raja atau yang kita kenal saat ini dengan sebutan “Mokole
dan Apua”, tetapi kesadaran akan perlunya dinamika hidup bersama dan kemungkinan
besar atas dasar pengamatan kepada etnis lain, maka mendorong kumpulan
masyarakat Moronene untuk mengangkat pemimpin diantara mereka yang dimulaikan
di sekitar pegunungan Rarowatu. Dalam wawancara itu, narasumber mengatakan “sawali na motongo, kando binta nde’e koie
Mokole kando lako hai Lakomea”. Rakyat meninggalkan pemimpin yang mereka
telah angkat dan akui di wilayah Rarowatu dan mengangkat pemimpin yang baru
disekitar wilayah Lakomea.
Narasumber mendefinisikan “Mokole”
dalam dua kata penting yaitu “moko leleno”, dalam bahasa Moronene “moko” adalah
suatu kata sifat tetapi aktif dan memiliki tensis presen, contohnya “mokotundu
(sedang dalam keadaan mengantuk)” mokolaro (berhati baik). Kata yang kedua
adalah “leleno” dari kata dasar “lele” (kabar) dan “no” (seubejek pelaku).
Maksud dari kata “mokoleleno” bahwa seseorang memiliki kabar yang baik atau
seseorang yang memiliki integritas yang telah terkenal baik oleh semua
masyarakat. Oleh karena itu dapat kita simpulakan bahwa “mokole” dalam
pemahaman kuno Moronene, adalah seorang yang berintegritas mulia dan terpercaya
sehingga ia layak untuk diangkat dan ditahbiskan menjadi pemimpin. Kata
“mokoleleno” akhirnya menghasilkan kata berikut yaitu “leeno mokole”
(silsilahnya adalah Mokole/seorang yang berintegritas). Oleh karena itu dari
kata ini dapat kita sempulkan bahwa memilih pemimpin dalam budaya demokrasi
Moronene kuno bukanlah berdasarkan silsilah sebagai keturunan ningrat, tetapi berdasarkan
integritas yang telah terbukti dan juga memiliki latar belakang keluarga yang
berintegritas.
Pertanyaannya berikut adalah: bagaimana proses pemilihan dan
dan pengangkatan seorang pemimpin dalam budaya demokrasi Moronene? Dalam budaya
demokrasi Moronene dikenal yang namanya “Limbo” (rakyat), Limbo ini telah
diwakilkan oleh beberapa orang yang diangkat oleh rakyat untuk mewakili mereka
berdasarkan wilayah, yang dikenal dengan “kapala”, mereka inilah yang akan memilih
seorang pemimpin berdasarkan kualifikasi “mokole” diatas. Keberadaan para
kapala ini merupakan wujud dari permusyawaratan perwakilan, jauh sebelum sila
ke empat pancasila dibentuk. Oleh karena itu, integritaslah yang menjadi ukuran
seorang raja di Moronene untuk terus dianggap sebagai raja atau pemimpin, bukan
silsilah. Dukungan dan pengakuan sebagai
pemimpin yang sah dapat diambil kembali oleh “Limbo” jika integritas seorang
pemimpin telah ternodai. Selamat berpesta demokrasi di Wita I Moronene. Tulisan
ini sangat memerlukan sanggahan. Surabaya, 26 Jan 2017. Wem Hendra