Jumat, 27 Januari 2017

MORONENE DAN DEMOKRASI



MORONENE DAN DEMOKRASI



Demokrasi telah menjadi salah satu alat pengukur kemajuan suatu peradaban, Menurut penulis bahwa  demokrasi adalah alat dan bukan tujuan. Indoesia sebagai negara demokrasi telah meletakkan tujuan bangsa Indonesia pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan demokrasi adalah alat yang menuntun bangsa Indoensia meraih cita-cita itu.  
Moronene adalah salah satu bagian dalam keragaman bangsa Indonesia. Indonesia seharusnya diwarnai oleh setiap kekayaan kearifan lokal suku-suku yang berada di Nusantara ini. Pertanyaan penting dala kontek ini adalah: Kearifan lokal apa yang dimiliki suku Moronene untuk mewarnai demokrasi di bangsa ini? Pertanyaan kedua yaitu apakah Moronene memiliki konsep demokrasi yang khas dan bagaimana konsep itu diaplikasikan?
            Dengan data yang sangat terbatas, keterbatasan ini pertama-tama diakibatkan oleh tidak adanya budaya menulis dalam budaya Moronene, walaupun ada, hal itu baru saja dimulaikan akhir-akhir ini. Suku Moronene masih berada disekitar budaya oral sebagaimana yang tertuang dalam berbagai sastra oral Moronene diantaranya adalah “Kada,
            Memulaikan tulisan singkat ini pertama-tama penulis telah mengajukan beberapa pertanyaan kepada anak-anak Moronene mengenai beberapa hal yang dapat menolong  penulis untuk memahami bagaimana konsep Moronene mengenai demokrasi. Pertanyaan yang diajukan diantaranya berkisar pada sistem pemerintahan kuno yang berada di Moronene dengan mendefinisikan beberapa sebutan yang ada di Moronene diantaranya adalah “Apua dan Mokole”. Dari pertanyaan yang diajukan, secara umum jawaban yang diberikan bukanlah jawaban jawaban dalam kearifan lokal Moronene.
            Berdasarkan wawancara  penulis beberapa tahun yang lalu terhadap Alm. Idrus Kunjeng, penulis mendapat suatu definisi dan cerita (tradisi oral) mengenai sejarah kerajaan Moronene. Bahwa pada mulanya orang Moronene tidak mengenal yang namanya Raja atau yang kita kenal saat ini dengan sebutan “Mokole dan Apua”, tetapi kesadaran akan perlunya dinamika hidup bersama dan kemungkinan besar atas dasar pengamatan kepada etnis lain, maka mendorong kumpulan masyarakat Moronene untuk mengangkat pemimpin diantara mereka yang dimulaikan di sekitar pegunungan Rarowatu. Dalam wawancara itu, narasumber mengatakan “sawali na motongo, kando binta nde’e koie Mokole kando lako hai Lakomea”. Rakyat meninggalkan pemimpin yang mereka telah angkat dan akui di wilayah Rarowatu dan mengangkat pemimpin yang baru disekitar wilayah Lakomea.  
            Narasumber mendefinisikan “Mokole” dalam dua kata penting yaitu “moko leleno”, dalam bahasa Moronene “moko” adalah suatu kata sifat tetapi aktif dan memiliki tensis presen, contohnya “mokotundu (sedang dalam keadaan mengantuk)” mokolaro (berhati baik). Kata yang kedua adalah “leleno” dari kata dasar “lele” (kabar) dan “no” (seubejek pelaku). Maksud dari kata “mokoleleno” bahwa seseorang memiliki kabar yang baik atau seseorang yang memiliki integritas yang telah terkenal baik oleh semua masyarakat. Oleh karena itu dapat kita simpulakan bahwa “mokole” dalam pemahaman kuno Moronene, adalah seorang yang berintegritas mulia dan terpercaya sehingga ia layak untuk diangkat dan ditahbiskan menjadi pemimpin. Kata “mokoleleno” akhirnya menghasilkan kata berikut yaitu “leeno mokole” (silsilahnya adalah Mokole/seorang yang berintegritas). Oleh karena itu dari kata ini dapat kita sempulkan bahwa memilih pemimpin dalam budaya demokrasi Moronene kuno bukanlah berdasarkan silsilah sebagai keturunan ningrat, tetapi berdasarkan integritas yang telah terbukti dan juga memiliki latar belakang keluarga yang berintegritas.
Pertanyaannya berikut adalah: bagaimana proses pemilihan dan dan pengangkatan seorang pemimpin dalam budaya demokrasi Moronene? Dalam budaya demokrasi Moronene dikenal yang namanya “Limbo” (rakyat), Limbo ini telah diwakilkan oleh beberapa orang yang diangkat oleh rakyat untuk mewakili mereka berdasarkan wilayah, yang dikenal dengan “kapala”, mereka inilah yang akan memilih seorang pemimpin berdasarkan kualifikasi “mokole” diatas. Keberadaan para kapala ini merupakan wujud dari permusyawaratan perwakilan, jauh sebelum sila ke empat pancasila dibentuk. Oleh karena itu, integritaslah yang menjadi ukuran seorang raja di Moronene untuk terus dianggap sebagai raja atau pemimpin, bukan silsilah. Dukungan dan pengakuan  sebagai pemimpin yang sah dapat diambil kembali oleh “Limbo” jika integritas seorang pemimpin telah ternodai. Selamat berpesta demokrasi di Wita I Moronene. Tulisan ini sangat memerlukan sanggahan. Surabaya, 26 Jan 2017. Wem Hendra


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar:

LITURGI IBADAH RAYA MINGGU

    1.   Introitus: (Iringan musik masuk, dan jemaat mengambil saat teduh). 2.   Votum: Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan yan...