Jumat, 06 September 2019

Moronene Diambang Kepunahan

\

https://www.suarakendari.com/sejarah-tokotua-tangkeno-kabaena.html

Moronene diamang kepunahan! Tentu ada berbagai respon pembaca atas judul tulisan ini. Ada respon yang biasa-biasa saja yang berasal dari mereka yang secara langsung bukan dari kerabat dan keluarga langsung atau keturunan orang Moronene, atau bbisa saja tidak memiliki keterkaitan Moronene, mungkin ia orang Moronene tetapi tanpa peduli mengenai eksistensi Moronene itu sendiri. Respon kedua adalah marah, dengan dasas dan asumsi-asumsi apa  penulis memiliki thesis demikian. Respon ketiga adalah orang yang memahami dan mulai bertindak, baik karena memiliki keterkaitan dengan Moronene atau karena kesadaran bahwa Moronene adalah salah satu warna dari Tuhan dalam pelangi Antropologi dunia.
Apa Moroenene itu? Mengapa ia sedang diambang kepunahan? Moronene adalah salah satu “suku bangsa”. Moronene di sebut “suku bangsa”. Tentu harus memenuhi syarat dan definisi standart yang harus dipenuhinya Sehinga dapat dikatakan sebagai "suku bangsa" dan dalam tulisan ini, penulis memulai dari hal mendasar yaitu definisi berdasarkan kamus. Penulis bukan seorang antropolog, oleh karena itu analisa penulis berdasarkan pemikiran umum. Menurut KBBI “suku bangsa” adalah:
Kelompok etniketnis atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut seperti kesamaan budayabahasaagamaperilaku, dan ciri-ciri biologis[1].
Oxford Dictionary mendefinissikan suku bangsa dari kata “tribe” sebagai:
a social division in a traditional society consisting of families or communities linked by social, economic, religious, or blood ties, with a common culture and dialect, typically having a recognized leader[2].

Pada dasarnya KBBI mendefinisikan “suku bangsa” relative sama dengan Oxford Dictionary, tetapi Oxford Dictionary memberikan tambahan penting yaitu “a recognized leader (pemimpin yang diakui)”. Dari definisi di atas, penulis mengambil beberapa syarat-syarat dasar suatu suku bangsa yaitu[3]:
1.      Kelompok masyarakat yang memiliki garis keturunan atau ciri biologis yang sama. Dalam hal ini penulis menyebutnya sebagai “keturunan murni”.
2.      Budaya yang sama. Pada dasasrnya budaya adalah sangat luas, oleh karena itu penulis membatasinya dengan “adat”.
3.      Agama/kepercayaan yang sama.
4.      Memiliki bahasa yang sama.  
5.      Memiliki pemimpin atau lembaga yang diakui (a recognizes leader).
6.      Berasal dari suatu tempat yang sama (memiliki tanah atau tempat secara geografis untuk bermukim).

Demikianlah syarat-syarat dasar suatu kelompok masyarakat untuk dikatakan “suku bangsa”. Selain sebagai kriteria-kriteria dasar, ini juga akan menjadi alat pengukur eksistensi suku bangsa, apakah suku bangsa itu tetap eksis ataukah ia sedang menuju kepunahan. Penulis akan memulai untuk membahas satu persatu dari kriteria-kriteria ini:


   
1.      Keturunan murni/ciri biologis yang sama.




Ada dua aliran dalam memahami titik awal antropologi yaitu aliran agama yang percaya pada konsep penciptaan dan golongan yang percaya pada “evolusi”. Penulis percaya pada kedua hal itu, tentu secara terbatas bahwa penulis tidak percaya evolusi pada tahap asal manusia (ontology), tetapi perkembangan ras manusia terjadi secara evolusi.

Sebagai orang beragama dalam hal ini beragama Kristen maka penulis tidak dapat mengabaikan asal mula manusia secara ontologis berdasarka kitab suci yaitu Alkitab, sebab penulis tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mengutib kitab lainnya. Suku-suku bangsa berasal dari sepasang manusia yaitu Adam dan Hawa, lalu kemudian berkembang sedemikian rupa. Alkitab membagi manusia purba dalam dua kelompok besar yang disebut “anak-anak Allah dan manusia”. “Sebutan anak-anak manusia yaitu manusia yang berasal dari keturunan Kain” dan sebutan “anak-anak Allah” yaitu keturunan Set (Kej. 6: 1-8). Selanjutnya manusia purba itu dimusnahkan dengan Air Bah dan manusia kembali berasal dari satu keturunan yaitu keturunan Nuh melalui ketiga anaknya yaitu Sem, Ham dan Yafet. Dari ketiga keturunan Nuh inilah yang akhirnya berkembnang menjadi akar perbedaan ras manusia di bumi, tetapi masih memiliki budaya dan bahasa yang sama. Peristiwa Menara Babel memberi informasi kepada kita awal mula penyebaran manusia ke seluruh penjuru bumi menjadi suku-suku bangsa yang berbeda-beda dalam berbagai hal terutama bahasa (Kej. 11:1-9).

Proses evolusi yang penulis maksud adalah perkembangan suku-suku bansga dikemudaian hari setelah jaman manusia purba, jaman Nuh dan pasca menara Babel dan pada  akhirnya ras mansia sedikit banyaknya dipengaruhi oleh geografis dimana ia bermukim; contoh Ras Arya dengan kulit, warna mata dan lain sebagainya ternyata cocok berada di daerah dingin, demikian juga bangsa Semitis yang cocok hidup di padang pasir. Ras Negroid adalah yang paling kuat untuk berada di benua Afrika.[4]

Suku Moronene menurut para antropolog termaksud dalam golongan Ras Mongoloit. Ras Mongoloid memiliki tiga sub ras yaitu: Asiatik Mongoloid (Cina, Jepang, Korea), Melayan Mongoloid (Melayu), American Mongoloid (Suku Indian). Sub ras Melayan Mongoloid terbagi menjadi dua kelompok ras yaitu: Melayu Tua (Proto Melayu) dan Bangsa Melayu Muda (Deutero Melayu) dan Suku Moronene tergolong dalam kelompok ras Proto Melayan (Melayau Tua) yang datang dari Hindia Belakang.

Penekanan penulis dalam poin ini bahwa suku Moronene memiliki suatu ciri khas fisik atau ciri khas biologis. Salah satu syarat atau penanda eksistensi suatu suku bangsa adalah “kekhususan biologis” yaitu ia memiliki keunikan ras dalam rumpun yang membedakannya dengan ras yang lain dalam rumpunnya.

Permasalahan dalam poin ini yaitu: apakah ciri khas biologis suku Moronene sedang terjaga ataukah sedang menuju kepunahan? Apa yang menjadi sebab dari keruntuhan ini? Keruntuhan eksistensi Moronene secara biologis tentunya terjadi dari perkawinan campur. Perkawinan campur memiliki dampak positif, tetapi jika itu berjalan secara massif maka tidak sedikit berdampak negative. Dampak negative dari pernikahan campur yaitu “menggeser identitas atau keunikan biologis”.

Moronene adalah suku yang menganut system patriakhal, tetapi kenyataan bahwa pengaruh budaya ibu adalah yang paling kental dalam keluarga perkawinan campur (tetapi berbeda dengan wanita Moronene). Perkawinan campur bukan hanya mengger ciri khas biologis, tetapi juga akan membawa pergeseran nilai budaya atau adat[5].  

Dalam suku Moronene, pemeliharaan kemurnian keturunan hanya terjadi pada kalangan Apua, tetapi itu semua hanya demi tujuan menjaga status social keluarga Apua. Pada kalangan rakyat jelata, orang Moronene memiliki kecenderungan untuk melakukan perkawinan campur dengan etnis lain. Tidak ada suatu adat yg melarang perkawinan campur, berbeda dengan beberapa suku di Indonesia diantaranya adalah suku Batak yang menjaga kelestarian marga.

Pertanyaan penting dalam poin ini adalah: “apa yang harus dilakukan demi menjaga keturunan murni Moronene? Menurut penulis bahwa jalan satu-satunya adalah peran lembaga-lembaga adat jika hingga saat masih dilibatkan dalam proses pernikahan adat, seharusnya membuat pembedaan syarat pernikahan antar orang Moronene sendiri dan “suku bangsa lain”, seperti yang dilakukan oleh beberapa suku di Indonesia. Hal ini demi lebih mempermudah pernikahan sesama orang Moronene dan juga menjaga nilai martabat orang Moronene tarhadap suku bangsa yang lain.


2.    Bahasa[6]:

Bahasa adalah dasar utama suatu budaya dan syarat dasar suatu komunitas untuk dikatakan suku.  Menurut KBBI bahasa adalah:
Ling sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri; percakapan (perkataan) yang baik; tingkah laku yang baik; sopan santun: baik budi –nya)[7]

Dari manakah bahasa? Allah memberi kemampuan berbahasa kepada manusia, jika tidak demikian bagaimana manusia (Adam dan Hawa) dapat berkomunikasi? Selanjutnya Allah memberi kuasa kepada Adam untuk memberi nama kepada semua binatang. Inilah permulaan perkembangan bahasa manusia. Itulah sebabnya mengapa bahasa menjadi tak ternilai harganya karena secara ontology memang diberikan Allah, tetapi juga dikembangkan oleh manusia itu sendiri sebagai perkembangan budaya manusia, oleh karenanya bahasa akan terus mengalami perkembangan, baik secara positif  maupun negatif.

Apa pentingnya bahasa? Menurut penulis, nilai bahasa bukan hanya terletak pada fungsi komunikasi, tetapi juga sebagai identitas kebudayaan suatu komunitas. Siklus kehidupan, adat dan agama, kemajuan dan kemunduran budaya akan menemukan lambang dan bentuknya dalam bahasa suatu komunitas.

Sebagaimana natur manusia adalah mahluk sosial, oleh karena itu hubungan manusia satu dan lainnya hanya akan terjalin lewat bahasa (verbal dan lambang)[8]. Dalam memperjuangkan Indonesia yang merdeka, para pemuda menyatukan diri dengan ikrar yang kita kenal dengan sumpah pemuda, bahasa adalah satu yang bukan sebagai alat pemersatu tetapi juga sebagai identitas suatu bangsa yang merdeka.

Menurut Matthew McKay dkk: komunikasi Verbal atau bahasa menolong manusia memenuhi berbagai kebutuhan dan mengekspresikan dirinya, komintasnya, dengan bahsa ia memberi informasi, membujuk, menghibur dan bahasa menolong seseorang mengekspresikan pengamatan, pikiran, perasaan dan kebutuhan dan bahasa juga adalah alat control sosial.   
Verbal communication helps us meet various needs through our ability to express ourselves. In terms of instrumental needs, we use verbal communication to ask questions that provide us with specific information. We also use verbal communication to describe things, people, and ideas. Verbal communication helps us inform, persuade, and entertain others, which as we will learn later are the three general purposes of public speaking. It is also through our verbal expressions that our personal relationships are formed. At its essence, language is expressive. Verbal expressions help us communicate our observations, thoughts, feelings, and needs.[8]

Menurut David Abram bahasa memiliki dampak yang luar biasa, bukan sebatas memenuhi kebutuhan manusia untuk berkomunikasi, tetapi bahwa bahasa adalah kekuatan untuk merubah manusia dalam segala bidang, “Only if words are felt, bodily presences, like echoes or waterfalls, can we understand the power of spoken language to influence, alter, and transform the perceptual world[9].

Dari beberapa pemikiran di atas, menyatakan dengan tegas, bahwa ketika suatu bahasa telah berhenti di tuturkan secara aktif dan massif oleh suatu suku bangsa, maka secara eksistensial komunitas tersebut telah berhenti mengekspresikan dirinya (secara terbatas) sebagai suatu “suku bangsa”. Penulis menekankan bahwa mungkin saja dalam beberapa tahun kedepan orang Moronene masih ada tetapi tidak dapat berbahasa Moronene secara aktif, apakah dapat dikatakan Moronene masih ada? Menurut Abdul Rachman Patji: Ancaman kepunahan bahasa-bahasa daerah ini perlu mendapat perhatian, sebab kepunahan bahasa sama dengan kepunahan peradaban manusia yang menggunakannya”[10].

Menurut Yus Rambe dalam jangka waktu 25 tahun ke depan, bahasa moronene terancam punah, dengan dalil bahwa "Masyarakat pendukung yang aktif berbahasa daerah Moronene saat ini hanya golongan orang tua berusia di atas umur 50 tahun”.[11] Telah kita saksikan bahwa Moronene memiliki berbagai macam tradisi sastra, tetapi saat ini telah langka, bahkan dapat kita katakan diambang kepunahan. Diantaranya adalah “Kada, Modulele, dll”.  

Menurut National Geographic Indonesia: ada empat sebab kepunahan bahasa daerah. Pertama, para penuturnya berpikir tentang dirinya sebagai inferior secara sosial. Kedua, keterikatan pada masa masa lalu. Ketiga, sisi tradisional dan terakhir karena secara ekonomi kehidupannya stagnan. "Keempat sebab ini disebut oleh sejumlah linguistik sebagai 'proses penelantaran bahasa[12]'

Walau belum diadakan survey, tetapi fakta di lapangan kita menemukan bahwa  bahasa Moronene di wilayah Moronene sendiri telah di dominasi oleh Bahasa pendatang, hal ini dapat kita saksikan terutama di sebagian daerah Poleang diamana dominan anak-anak Moronene lebih fasih berbahasa salah satu suku pendatang dari pada berbahasa Moronene, begitu pula di wilayah lain di Bombana walau anak-anak Moronene belum fasih berbahasa suku pendatang, tetapi mereka mulai terpengaruh oleh dialek dan ini telah menjadi fakta umum di Bombana.

Penulis percaya bahwa keruntuhan Moronene akan dimulaikan dari bahasa dan saat ini proses itu sedang berjalan, oleh karena itu penulis memberi saran-saran agar setiap  anak-anak Moronene mulai mencintai dan bangga berbahasa Moronene. Menurut Christiane Hoffschildt, dari Asosiasi Terapi Bicara Jerman DBL, kepada situsDW, kemampuan menguasai satu bahasa ibu merupakan dasar yang sangat penting bagi anak-anak untuk bisa menguasai bahasa lainnya. "Ini bukan saja merupakan kesempatan tambahan untuk kesuksesan karir akademik dan profesional, tapi juga mendukung perkembangan pluralistik dan linguistik dalam masyarakat yang beragam budaya," Demikian pula bagi para rohaniawan untuk mulai melakukan khotbah-khotbah dalam bahasa Moronene, demikian pula bagi pemerintah daerah untuk menjadikan Bahasa Moronene sebagai mulok mulai dari TK dan SD.


2.      Tanah/Wilayah.

https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2433118/terpana-keindahan-bukit-teletubies-bombana

Meski ada suku-suku tertentu yang dikenal sebagai suku  nomaden, tetapi mereka menjadi nomaden di atau wilayah yang tetap sesuai degan musim. Suku nomaden tetap berpindah-pindah pada suatu daerah sesuai musim tertentu dan tempat-tempat pengembaraan mereka itu mereka sebut sebagai tanah mereka atau tanah perburuan atau tanah pengembalaan. Moronene kuno pada dasarnya adalah suku nomaden dengan cara ladang berpindah-pindah & bermukin sesuai dengan keberadaan hewan buruan, bertetapi tetap dalam suatu kawasan wilayah.

Syarat suatu suku adalah memiliki wilayah tertentu untuk bermukim dan hidup, tempat atau wilayah akan membentuk budaya suatu komunitas, ambil contoh, suku Moronene tidak memiliki budaya tenun, dan tidak memiliki nama terhadap teknologi tenun. Suku Moronene juga tidak memiliki nama-nama ikan laut menurut bahasa Moronene sendiri tetapi mengikuti suku-suku lain di sekitarnya. Suku Moronene adalah suku pemburu dan peramu, suku Moronene memiliki banyak tradisi meramu dan berburu dan memiliki banyak teknologi di bidang peramuan dan perburuan.

Tanah atau wilayah akan membuktikan suatu suku atau kelompok memiliki kemandirian dan tanah untuk dipertahankan sebagai tanah tumpah darah (turuano rea). Ambil contoh tragedi kemanusiaan yang selalu dihubungkan dengan agama yaitu tragedi Rohingya di Myanmar, pada dasarnya adalah tragedi yang disebabkan oleh permasalahan wilayah atau tanah dimana etnis Rohingya  dianggap sebagai pendatang atau tanah dimana mereka berdiam dianggap bukan tempat atau wilayah mereka. Penekanan penulis pada poin ini bahwa tanah menjadi salah satu masalah utama dari tragedi Rohingya, dimana secara ras dan agama mereka lebih dekat dengan bangsa Bangladesh tetapi wilayah dimana mereka masuk dalam wilayah Myanmar. Karena konflik wilayah, ras dan agama, saat ini etnis Rohingya terusir dan tersebar berbagai wilayah di dunia, tersebarnya mereka berdampak pada eksistenti mereka  sebagai suatu komunitas, mereka tidak dapat mengembangkan budaya mereka, karena budaya harus berkembang diatas tanah milik sendiri.

Manusia diciptakan dari tanah, hidup diatas tanah, makan, minum, dan bernafas dari hassil tanah, hingga akhirnya manusia akan kembali ke tanah. Tanah adalah harta materi terbesar manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai komunitas. Tanah juga menjadi sumber pertikaian anatara bangsa dalam sepanjang sejarah manusia. Memiliki sebidang tanah juga memiliki sumber daya alam yang terkandung dalam tanah, bahkan memiliki udara diatas tanah. Memiliki tanah adalah memiliki identitas, kepastian masa depan, bahkan nilai-nilai kerohanian.

Penulis tidak membahas permasalahan agraria yang terjadi di Bombana yaitu sekelompok orang dengan status tertentu dengan tanpa malu merasa memiliki hak untuk menjual tanah Bombana kepada pihak pengembang yang pada akhirnya hanya membawa kemakmuran kepada segelintir orang, tetapi secara umum masyarakat Moronene hanya mendapat dampak dari kerusakan alam dari eksploitasi wilayah mereka. The facto and the jure, Moronene memiliki tanah atau wilayah bermukim, bahkan sebagian besar wilayah Sulawesi Tenggara kemungkinan besar adalah tanah leluhur orang Moronene, hal ini dapat dibuktikan dengan ‘nama-nama sebagian besar daerah Sulawesi Tenggara berasal dari bahasa Moronene diantaranya adalah, Po’ahara, Po’mala’a.

Moronene sebagai suatu suku bangsa dan sebagai  suatu Kerajaan, memiliki wilayah atau tanah yang diakui secara hukum, baik oleh komunitas lain di sekitarnya maupun oleh pemerintahan yang berada di atasnya. Pertanyaan penting dalam poin ini yaitu: Apakah tanah di wilayah Moronene saat ini sungguh-sungguh dimilki dan dikuasai oleh orang-orang Moronene?

Penguasaan wilayah/tanah, bukan sekedar kuantitas, tetapi lebih kepada kualitas, yaitu apakah orang Moronene masih menguasai wilayah atau tanah yang produktif dan strategis di tanah Moronene ataukah tidak? Apakah orang Moronene masih menguasai wilayah wilayah tambang di tanahnya? Apakah orang Moronene masih menguasai tanah-tanah produktif yaitu sawah atau perkebunan produktif ataukah orang Moronene hanya memiliki hutan tidak produktif?  Mengenai laut atau pesisir penulis dapat simpulkan bahwa orang Moronene pasti tidak  menguasainya bahkan hampir tidak ada orang Moronene yang memiliki tambak. Apakah orang Moronene menguasai wilayah pusat bisnis di Bombana? Apakah orang Moronene menguasai lahan di pada pusat strategis  pemerintahan ?

Intinya bahwa orang Moronene mungkin masih memiliki tanah Moronene secara kuntitas, tetapi tidak menguasainya secara kualitas. Orang Moronene tidak menguasai wilayah pertambangan di Bombana,  pusat-pusat bisnis atau pasar, bahkan tidak ada 5% orang Moronene yang menguasai pusat binsnis di Bombana. Mengenai penguasaan pusat pemerintahan, masih harus diadaka survey secara khusus. Kesimpulan apa yang kita dapatkan dari poin ini, yaitu orang Moronene sedang tidak menguasai lagi tanah Moronene secara kualitas dan di kemudian hari orang Moronene sedang menjadi pelayan di tanahnya sendiri oleh ulahnya sendiri.

4.    Pemimpin Yang Diakui (a recognizes leader).


Berdasarkan definisi Oxford Dictionary bahwa salah satu syarat suatu “suku bangsa” harus memiliki “pemimpinan atau system kepemimpinanan yang di akui kewibawaannya oleh komunitas itu sendiri”. “a social division in a traditional society consisting of families or communities linked by social, economic, religious, or blood ties, with a common culture and dialect, typically having a recognized leader[13] Pemimpin atau system kepemimpinan yang diakui adalah syarat bagi suatu komunitas untuk dikualifikasi sebagai suku bangsa. Dengan cara demikian mereka dapat mengorganisasi diri dan mengatur kehidupan bersama.[14]

Sejak pemerintahan tabeano Sangia Raha Watu, Moronene telah takluk di bawah kekuasaan Kesultanan Buton, oleh karena itu raja di Moronene tidak memilki kedulatan penuh, sebab tidak ada pemimpin jajahan yang memegang kedaulatan penuh. Sungguh menggelitik dan menjadi pertanyaan penting, Moronene yang secara geografis lebih luas dan lebih subur dari Buton, tetapi menjadi wilayah taklukkan Buton. Ada dua arah sejarah mengenai keadaan ini yaitu Moronene (Kerajaan Keuwia) ditaklukkan oleh aliansi Kesultanan Buton dan Kesultanan Gowa, dan yang kedua adalah keputusan pemerintah colonial Belanda untuk memasukkan Moronene sebagai salah satu wilayah administrasi kesultanan Buton sebagai salah satu Distrik. Orang Moronene, khususnya wilayah Rumbia harus mengingat dan menaruh hormat kepada perjuangan Tabeano Mokole F.B Powatu yang pertama kali mengkoordinir empat puluh kepala kampung untuk membebaskan diri dari kekuasaan Kesultanan Buton secara hukum.

Sejak Indonesia merdeka, sangat jarang putra Moronene yang memimpin di wilayah Moronene sendiri, bahkan untuk menjadi camat. Setelah wilayah Moronene di mekarkan menajdi Kabupaten, terhitung hanya seorang putra Moronene yang pernah menjadi bupati di Bombana. Bagi sebagian pembaca hal mungkin sesuatu yang wajar, tetapi bagi penulis sendiri hal ini adalah sesuatu yang tidak sepantasnya. Orang Moronene sudah seharusnya berpikir untuk memimpin Sulawesi Tenggara, sebab dengan begitu bangga kita menyatakan bahwa orang Moronene suku tertua di Sulawesi Tenggara, tetapi untuk mendudukan seorang putra daerah sendiri sebagai bupati di tanah Bombana orang Moronene belum mampu. Penulis tidak bermaksud membangkitkan politik identitas, tetapi adalah suatu kewajaran jikalau suatu komunitas memiliki pemimpinnya dari komunitasnya sendiri.  jika komunitas lain bisa, mengapa orang Moronene tidak bisa. Seorang pemilik  rumah mungkin tanpa sengaja membakar rumahnya sendiri, tetapi ia tidak akan pernah merencanakan merampok rumahnya sendiri, apa lagi membakarnya. Saat ini penulis memberi tantangan untuk membuat suatu survey di Bombana berapa orang Moronene menjadi Camat, kepala dinas, lurah, kepala sekolah dan lain sebagainya? Dewasa ini jika orang Moronene ingin memiliki pemimpin-pemimpin politik maka jalan satu-satunya adalah harus dilmulaikan dari pengkaderan lembaga-lemabag formal politis yang menjadi sekolah lapangan bagi generasi muda Moronene. Sadar tidak sadar pengkaderan semacam ini tidak dianggap penting, tidak dikerjakan, dan pada saatnya musim menuai tiba, tidak tersedia kader orang Moronene sehingga gugur dengan sendirinya, sebuah refleksi yang tanpa sadar terus dan akan terus terjadi. Pada siapakah kita berharap? Sudah saatnya bergerak dan memulai.
a
Mungkin memiliki pemimpin secara politis telah menjadi suatu angan-angan belaka, tetapi masih adakah harapan bagi orang Moroene memiliki pemimpin nonpolitis yang diakui dan dihormati, serta di taati oleh orang Moronene sendiri? Seorang pemimpin atau lembaga yang menjadi kehormatan bagi orang Moronene?

Konon orang Moronene memiliki raja yang disebut Apua dan konon orang Moronene meemiliki lembaga adat? Tetapi apakah semuanya itu diakui dan dihormati oleh orang Moronene sebagai suatu identitas? Apakah Apua dan Lembaga Adat Moronene di hormati oleh pemerintah setempat secara nyata? Apakah Apua dan lembaga adat Moronene dapat bertindak mengatasnamakan orang Moronene? Apakah setatus yang disematkan itu justru dijadikan alat untuk bertindak bagi kepentingan pribadi! Bukan penulis yang bertanggung jawab menjawab semua itu. penulis kembalikan tanggung jawab itu kepada seluruh anak-anak Moronene!


  
Penutup:
1.    Kata orang hidup adalah pilihan. Menurut penulis tidak semua sisi hidup manusia adalah pilihan. Ada hal yang tidak dapat dipilih oleh manusia yang lahir di bawah matahari, ia tidak dapat memilih menjadi anak siapa, ia tidak dapat memilih kapan ia lahir, ia tidak dapat memilih tanah dimana ia dilahirkan, ia tidak dapat memilih dari “suku bangsa apa” ia lahir. Terlahir sebagai orang Moronene bukan pilihan, tetapi pemberian Allah, oleh karena itu ia akan selalu menjadi “anugerah yang indah, sebab datangnya dari Allah”. Karena Moronene adalah pemberian Tuhan, maka ia sejajar dengan suku-suku bangsa yang lain di muka bumi ini dalam hal apapaun, Moronene berhak eksis hingga dunia ini berakhir dan Tuhan teentunya memberikan tanggung jawab itu kepada anak-anak Moronene siapapun dia.
2.   Siapa yang tidak menyadari identitasnya, tidak menghargai identistasnya dan tidak bangga dengan identitasnya, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang belum merdeka, mereka tidak memiliki nilai untuk dibanggakan dan diperjuangkan.
3.   Moronene sedang menuju kepunahan dan saat ini sedang terjadi. Masih adakah secercah harapan bagi orang Moronene untuk menjaga eksistensinya di bumi ini, khususnya di Tanah Moronene?







[3] Menurut Frederick Barth:Pengertian suku ialah berupa himpunan manusia karena adanya kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa ataupun merupakan kombinasi dari kategori yang masuk terikat pada sistem nilai budaya. Menurut Koentjaraningrat: Suku bangsa ialah sekelompok manusia yang memiliki kesatuan dalam budaya dan terikat oleh kesadarannya akan identitasnya tersebut, kesadaran dan identitas yang dimiliki biasanya di perkuat dengan kesatuan bahasa. Menurut Hasan Shadily MA: Menurut Hasan Shadily MA memaparkan bahwa suku bangsa “etinis” ialah merupakan segolongan rakyat yang dianggap memiliki hubungan biologis. Menurut Eriks Wolf & Fredrik Brath: Memiliki tanggapan etnisitas sebagai hasil interaksi, serta bukan sifat-sifat hakiki suatu kelompok.

[4] Wem Hendra: Makalah teologi penanganan Refugee.
[5] Urbanisasi dan perkawinan antar etnis juga bisa menjadi penyebab punahnya bahasa daerah karena sang orang tua tak lagi mengajarkan bahasa dari daerah asalnya kepada sang anak. Mereka sendiri juga tak lagi menggunakannya secara aktif karena tinggal di daerah yang berbeda. Abdul Rachman Patji:  http://lipi.go.id/lipimedia/139-bahasa-daerah-di-indonesia-terancam-punah/15938  (The Jakarta Post, Selasa (2/8/2016).
[8] Berger & Luckman, 1966: 36–37.
[9] David Abram, Spell of the Sensuous (New York, NY: Vintage Books, 1997), 89.
[11] Kamis, 15 Desember 2011 14:34 WIB , Rumbia, Sultra (ANTARA News) https://www.antaranews.com/berita/288996/bahasa-moronene-terancam-punah
[13] https://en.oxforddictionaries.com/definition/tribe
[14] Baca Doxa: Moronene dan Dempkrasi.

LITURGI IBADAH RAYA MINGGU

    1.   Introitus: (Iringan musik masuk, dan jemaat mengambil saat teduh). 2.   Votum: Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan yan...