\
https://www.suarakendari.com/sejarah-tokotua-tangkeno-kabaena.html |
Moronene
diamang kepunahan! Tentu ada berbagai respon pembaca atas judul tulisan ini. Ada
respon yang biasa-biasa saja yang berasal dari mereka yang secara langsung
bukan dari kerabat dan keluarga langsung atau keturunan orang Moronene, atau
bbisa saja tidak memiliki keterkaitan Moronene, mungkin ia orang Moronene
tetapi tanpa peduli mengenai eksistensi Moronene itu sendiri. Respon kedua
adalah marah, dengan dasas dan asumsi-asumsi apa penulis memiliki thesis demikian. Respon ketiga
adalah orang yang memahami dan mulai bertindak, baik karena memiliki
keterkaitan dengan Moronene atau karena kesadaran bahwa Moronene adalah salah
satu warna dari Tuhan dalam pelangi Antropologi dunia.
Apa
Moroenene itu? Mengapa ia sedang diambang kepunahan? Moronene adalah salah satu
“suku bangsa”. Moronene di sebut “suku bangsa”. Tentu harus memenuhi syarat dan
definisi standart yang harus dipenuhinya Sehinga dapat dikatakan sebagai
"suku bangsa" dan dalam tulisan ini, penulis memulai dari hal
mendasar yaitu definisi berdasarkan kamus. Penulis bukan seorang antropolog,
oleh karena itu analisa penulis berdasarkan pemikiran umum. Menurut KBBI “suku
bangsa” adalah:
Kelompok etnik, etnis atau suku
bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya
mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama.
Identitas suku ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas
kelompok tersebut seperti kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku, dan ciri-ciri biologis[1].
Oxford Dictionary mendefinissikan suku bangsa dari
kata “tribe” sebagai:
a
social division in a traditional society consisting of families or communities
linked by social, economic, religious, or blood ties, with a common culture and
dialect, typically having a recognized leader[2].
Pada
dasarnya KBBI mendefinisikan “suku bangsa” relative sama dengan Oxford Dictionary, tetapi Oxford Dictionary
memberikan tambahan penting yaitu “a recognized leader (pemimpin yang
diakui)”. Dari definisi di atas, penulis
mengambil beberapa syarat-syarat dasar suatu suku bangsa yaitu[3]:
1. Kelompok masyarakat
yang memiliki garis keturunan atau ciri biologis yang sama. Dalam hal ini
penulis menyebutnya sebagai “keturunan murni”.
2. Budaya yang sama.
Pada dasasrnya budaya adalah sangat luas, oleh karena itu penulis membatasinya
dengan “adat”.
3. Agama/kepercayaan
yang sama.
4. Memiliki bahasa yang
sama.
5. Memiliki pemimpin
atau lembaga yang diakui (a recognizes leader).
6. Berasal dari suatu
tempat yang sama (memiliki tanah atau tempat secara geografis untuk bermukim).
Demikianlah syarat-syarat dasar suatu kelompok
masyarakat untuk dikatakan “suku bangsa”. Selain sebagai kriteria-kriteria
dasar, ini juga akan menjadi alat pengukur eksistensi suku bangsa, apakah suku
bangsa itu tetap eksis ataukah ia sedang menuju kepunahan. Penulis akan memulai
untuk membahas satu persatu dari kriteria-kriteria ini:
1.
Keturunan murni/ciri
biologis yang sama.
Ada
dua aliran dalam memahami titik awal antropologi yaitu aliran agama yang
percaya pada konsep penciptaan dan golongan yang percaya pada “evolusi”.
Penulis percaya pada kedua hal itu, tentu secara terbatas bahwa penulis tidak
percaya evolusi pada tahap asal manusia (ontology), tetapi perkembangan ras
manusia terjadi secara evolusi.
Sebagai
orang beragama dalam hal ini beragama Kristen maka penulis tidak dapat
mengabaikan asal mula manusia secara ontologis berdasarka kitab suci yaitu
Alkitab, sebab penulis tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mengutib
kitab lainnya. Suku-suku bangsa berasal dari sepasang manusia yaitu Adam dan
Hawa, lalu kemudian berkembang sedemikian rupa. Alkitab membagi manusia purba
dalam dua kelompok besar yang disebut “anak-anak Allah dan manusia”. “Sebutan anak-anak
manusia yaitu manusia yang berasal dari keturunan Kain” dan sebutan “anak-anak
Allah” yaitu keturunan Set (Kej. 6: 1-8). Selanjutnya manusia purba itu
dimusnahkan dengan Air Bah dan manusia kembali berasal dari satu keturunan
yaitu keturunan Nuh melalui ketiga anaknya yaitu Sem, Ham dan Yafet. Dari
ketiga keturunan Nuh inilah yang akhirnya berkembnang menjadi akar perbedaan
ras manusia di bumi, tetapi masih memiliki budaya dan bahasa yang sama. Peristiwa
Menara Babel memberi informasi kepada kita awal mula penyebaran manusia ke
seluruh penjuru bumi menjadi suku-suku bangsa yang berbeda-beda dalam berbagai
hal terutama bahasa (Kej. 11:1-9).
Proses
evolusi yang penulis maksud adalah perkembangan suku-suku bansga dikemudaian
hari setelah jaman manusia purba, jaman Nuh dan pasca menara Babel dan
pada akhirnya ras mansia sedikit
banyaknya dipengaruhi oleh geografis dimana ia bermukim; contoh Ras Arya dengan
kulit, warna mata dan lain sebagainya ternyata cocok berada di daerah dingin,
demikian juga bangsa Semitis yang cocok hidup di padang pasir. Ras Negroid
adalah yang paling kuat untuk berada di benua Afrika.[4]
Suku Moronene menurut para antropolog
termaksud dalam golongan Ras Mongoloit. Ras Mongoloid memiliki tiga sub ras
yaitu: Asiatik Mongoloid (Cina, Jepang, Korea), Melayan Mongoloid (Melayu),
American Mongoloid (Suku Indian). Sub ras Melayan Mongoloid terbagi menjadi dua
kelompok ras yaitu: Melayu Tua (Proto Melayu) dan Bangsa Melayu Muda (Deutero
Melayu) dan Suku Moronene tergolong dalam kelompok ras Proto Melayan (Melayau
Tua) yang datang dari Hindia Belakang.
Penekanan penulis dalam poin ini bahwa
suku Moronene memiliki suatu ciri khas fisik atau ciri khas biologis. Salah
satu syarat atau penanda eksistensi suatu suku bangsa adalah “kekhususan
biologis” yaitu ia memiliki keunikan ras dalam rumpun yang membedakannya dengan
ras yang lain dalam rumpunnya.
Permasalahan dalam poin ini yaitu:
apakah ciri khas biologis suku Moronene sedang terjaga ataukah sedang menuju
kepunahan? Apa yang menjadi sebab dari keruntuhan ini? Keruntuhan eksistensi
Moronene secara biologis tentunya terjadi dari perkawinan campur. Perkawinan campur
memiliki dampak positif, tetapi jika itu berjalan secara massif maka tidak
sedikit berdampak negative. Dampak negative dari pernikahan campur yaitu
“menggeser identitas atau keunikan biologis”.
Moronene adalah suku yang menganut
system patriakhal, tetapi kenyataan bahwa pengaruh budaya ibu adalah yang
paling kental dalam keluarga perkawinan campur (tetapi berbeda dengan wanita
Moronene). Perkawinan campur bukan hanya mengger ciri khas biologis, tetapi
juga akan membawa pergeseran nilai budaya atau adat[5].
Dalam suku Moronene, pemeliharaan
kemurnian keturunan hanya terjadi pada kalangan Apua, tetapi itu semua hanya
demi tujuan menjaga status social keluarga Apua. Pada kalangan rakyat jelata, orang
Moronene memiliki kecenderungan untuk melakukan perkawinan campur dengan etnis
lain. Tidak ada suatu adat yg melarang perkawinan campur, berbeda dengan
beberapa suku di Indonesia diantaranya adalah suku Batak yang menjaga
kelestarian marga.
Pertanyaan penting dalam poin ini
adalah: “apa yang harus dilakukan demi menjaga keturunan murni Moronene?
Menurut penulis bahwa jalan satu-satunya adalah peran lembaga-lembaga adat jika
hingga saat masih dilibatkan dalam proses pernikahan adat, seharusnya membuat
pembedaan syarat pernikahan antar orang Moronene sendiri dan “suku bangsa
lain”, seperti yang dilakukan oleh beberapa suku di Indonesia. Hal ini demi
lebih mempermudah pernikahan sesama orang Moronene dan juga menjaga nilai
martabat orang Moronene tarhadap suku bangsa yang lain.
2. Bahasa[6]:
Bahasa
adalah dasar utama suatu budaya dan syarat dasar suatu komunitas untuk
dikatakan suku. Menurut KBBI bahasa adalah:
Ling
sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu
masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri;
percakapan (perkataan) yang baik; tingkah laku yang baik; sopan santun: baik budi –nya)[7]…
Dari
manakah bahasa? Allah memberi kemampuan berbahasa kepada manusia, jika tidak
demikian bagaimana manusia (Adam dan Hawa) dapat berkomunikasi? Selanjutnya
Allah memberi kuasa kepada Adam untuk memberi nama kepada semua binatang.
Inilah permulaan perkembangan bahasa manusia. Itulah sebabnya mengapa bahasa
menjadi tak ternilai harganya karena secara ontology memang diberikan Allah,
tetapi juga dikembangkan oleh manusia itu sendiri sebagai perkembangan budaya
manusia, oleh karenanya bahasa akan terus mengalami perkembangan, baik secara
positif maupun negatif.
Apa
pentingnya bahasa? Menurut penulis, nilai bahasa bukan hanya terletak pada
fungsi komunikasi, tetapi juga sebagai identitas kebudayaan suatu komunitas.
Siklus kehidupan, adat dan agama, kemajuan dan kemunduran budaya akan menemukan
lambang dan bentuknya dalam bahasa suatu komunitas.
Sebagaimana
natur manusia adalah mahluk sosial, oleh karena itu hubungan manusia satu dan
lainnya hanya akan terjalin lewat bahasa (verbal dan lambang)[8].
Dalam memperjuangkan Indonesia yang merdeka, para pemuda menyatukan diri dengan
ikrar yang kita kenal dengan sumpah pemuda, bahasa adalah satu yang bukan
sebagai alat pemersatu tetapi juga sebagai identitas suatu bangsa yang merdeka.
Menurut
Matthew McKay dkk: komunikasi Verbal atau bahasa menolong manusia memenuhi
berbagai kebutuhan dan mengekspresikan dirinya, komintasnya, dengan bahsa ia memberi
informasi, membujuk, menghibur dan bahasa menolong seseorang mengekspresikan
pengamatan, pikiran, perasaan dan kebutuhan dan bahasa juga adalah alat control
sosial.
Verbal
communication helps us meet various needs through our ability to express
ourselves. In terms of instrumental needs, we use verbal communication to ask
questions that provide us with specific information. We also use verbal
communication to describe things, people, and ideas. Verbal communication helps
us inform, persuade, and entertain others, which as we will learn later are the
three general purposes of public speaking. It is also through our verbal
expressions that our personal relationships are formed. At its essence,
language is expressive. Verbal expressions help us communicate our
observations, thoughts, feelings, and needs.[8]
Menurut
David Abram bahasa memiliki dampak yang luar biasa, bukan sebatas memenuhi kebutuhan
manusia untuk berkomunikasi, tetapi bahwa bahasa adalah kekuatan untuk merubah
manusia dalam segala bidang, “Only if words are felt, bodily presences, like
echoes or waterfalls, can we understand the power of spoken language to
influence, alter, and transform the perceptual world[9].
Dari
beberapa pemikiran di atas, menyatakan dengan tegas, bahwa ketika suatu bahasa
telah berhenti di tuturkan secara aktif dan massif oleh suatu suku bangsa, maka
secara eksistensial komunitas tersebut telah berhenti mengekspresikan dirinya
(secara terbatas) sebagai suatu “suku bangsa”. Penulis menekankan bahwa mungkin
saja dalam beberapa tahun kedepan orang Moronene masih ada tetapi tidak dapat
berbahasa Moronene secara aktif, apakah dapat dikatakan Moronene masih ada? Menurut
Abdul Rachman Patji: “
Ancaman kepunahan bahasa-bahasa daerah ini perlu mendapat perhatian, sebab
kepunahan bahasa sama dengan kepunahan peradaban manusia yang menggunakannya”[10].
Menurut
Yus Rambe dalam jangka waktu 25 tahun ke depan, bahasa moronene terancam punah,
dengan dalil bahwa "Masyarakat pendukung yang aktif berbahasa daerah
Moronene saat ini hanya golongan orang tua berusia di atas umur 50 tahun”.[11] Telah kita saksikan bahwa Moronene
memiliki berbagai macam tradisi sastra, tetapi saat ini telah langka, bahkan
dapat kita katakan diambang kepunahan. Diantaranya adalah “Kada, Modulele, dll”.
Menurut National Geographic Indonesia: ada empat sebab kepunahan bahasa daerah. Pertama,
para penuturnya berpikir tentang dirinya sebagai inferior secara sosial. Kedua,
keterikatan pada masa masa lalu. Ketiga, sisi tradisional dan terakhir karena
secara ekonomi kehidupannya stagnan. "Keempat sebab ini disebut oleh
sejumlah linguistik sebagai 'proses penelantaran bahasa[12]'
Walau
belum diadakan survey, tetapi fakta di lapangan kita menemukan bahwa
bahasa Moronene di wilayah Moronene sendiri telah di dominasi oleh Bahasa
pendatang, hal ini dapat kita saksikan terutama di sebagian daerah Poleang
diamana dominan anak-anak Moronene lebih fasih berbahasa salah satu suku
pendatang dari pada berbahasa Moronene, begitu pula di wilayah lain di Bombana
walau anak-anak Moronene belum fasih berbahasa suku pendatang, tetapi mereka
mulai terpengaruh oleh dialek dan ini telah menjadi fakta umum di Bombana.
Penulis
percaya bahwa keruntuhan Moronene akan dimulaikan dari bahasa dan saat ini
proses itu sedang berjalan, oleh karena itu penulis memberi saran-saran agar
setiap anak-anak Moronene mulai mencintai dan bangga berbahasa Moronene. Menurut
Christiane Hoffschildt, dari Asosiasi Terapi Bicara Jerman DBL, kepada situsDW, kemampuan menguasai satu bahasa ibu
merupakan dasar yang sangat penting bagi anak-anak untuk bisa menguasai bahasa
lainnya. "Ini bukan saja merupakan kesempatan tambahan untuk kesuksesan
karir akademik dan profesional, tapi juga mendukung perkembangan pluralistik
dan linguistik dalam masyarakat yang beragam budaya," Demikian pula bagi
para rohaniawan untuk mulai melakukan khotbah-khotbah dalam bahasa Moronene,
demikian pula bagi pemerintah daerah untuk menjadikan Bahasa Moronene sebagai mulok
mulai dari TK dan SD.
2. Tanah/Wilayah.
https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2433118/terpana-keindahan-bukit-teletubies-bombana |
Meski ada suku-suku tertentu yang
dikenal sebagai suku nomaden, tetapi mereka menjadi nomaden di atau
wilayah yang tetap sesuai degan musim. Suku nomaden tetap berpindah-pindah pada
suatu daerah sesuai musim tertentu dan tempat-tempat pengembaraan mereka itu
mereka sebut sebagai tanah mereka atau tanah perburuan atau tanah pengembalaan.
Moronene kuno pada dasarnya adalah suku nomaden dengan cara ladang
berpindah-pindah & bermukin sesuai dengan keberadaan hewan buruan, bertetapi
tetap dalam suatu kawasan wilayah.
Syarat suatu suku adalah memiliki
wilayah tertentu untuk bermukim dan hidup, tempat atau wilayah akan membentuk
budaya suatu komunitas, ambil contoh, suku Moronene tidak memiliki budaya
tenun, dan tidak memiliki nama terhadap teknologi tenun. Suku Moronene juga
tidak memiliki nama-nama ikan laut menurut bahasa Moronene sendiri tetapi
mengikuti suku-suku lain di sekitarnya. Suku Moronene adalah suku pemburu dan
peramu, suku Moronene memiliki banyak tradisi meramu dan berburu dan memiliki
banyak teknologi di bidang peramuan dan perburuan.
Tanah atau wilayah akan membuktikan
suatu suku atau kelompok memiliki kemandirian dan tanah untuk dipertahankan
sebagai tanah tumpah darah (turuano rea). Ambil contoh tragedi kemanusiaan yang
selalu dihubungkan dengan agama yaitu tragedi Rohingya di Myanmar, pada
dasarnya adalah tragedi yang disebabkan oleh permasalahan wilayah atau tanah
dimana etnis Rohingya dianggap sebagai pendatang atau tanah dimana mereka
berdiam dianggap bukan tempat atau wilayah mereka. Penekanan penulis pada poin
ini bahwa tanah menjadi salah satu masalah utama dari tragedi Rohingya, dimana
secara ras dan agama mereka lebih dekat dengan bangsa Bangladesh tetapi wilayah
dimana mereka masuk dalam wilayah Myanmar. Karena konflik wilayah, ras dan
agama, saat ini etnis Rohingya terusir dan tersebar berbagai wilayah di dunia,
tersebarnya mereka berdampak pada eksistenti mereka sebagai suatu
komunitas, mereka tidak dapat mengembangkan budaya mereka, karena budaya harus
berkembang diatas tanah milik sendiri.
Manusia diciptakan dari tanah, hidup
diatas tanah, makan, minum, dan bernafas dari hassil tanah, hingga akhirnya
manusia akan kembali ke tanah. Tanah adalah harta materi terbesar manusia, baik
sebagai pribadi maupun sebagai komunitas. Tanah juga menjadi sumber pertikaian anatara
bangsa dalam sepanjang sejarah manusia. Memiliki sebidang tanah juga memiliki
sumber daya alam yang terkandung dalam tanah, bahkan memiliki udara diatas
tanah. Memiliki tanah adalah memiliki identitas, kepastian masa depan, bahkan
nilai-nilai kerohanian.
Penulis tidak membahas permasalahan
agraria yang terjadi di Bombana yaitu sekelompok orang dengan status tertentu
dengan tanpa malu merasa memiliki hak untuk menjual tanah Bombana kepada pihak
pengembang yang pada akhirnya hanya membawa kemakmuran kepada segelintir orang,
tetapi secara umum masyarakat Moronene hanya mendapat dampak dari kerusakan
alam dari eksploitasi wilayah mereka. The facto and the jure, Moronene memiliki
tanah atau wilayah bermukim, bahkan sebagian besar wilayah Sulawesi Tenggara
kemungkinan besar adalah tanah leluhur orang Moronene, hal ini dapat dibuktikan
dengan ‘nama-nama sebagian besar daerah Sulawesi Tenggara berasal dari bahasa
Moronene diantaranya adalah, Po’ahara, Po’mala’a.
Moronene sebagai suatu suku bangsa dan
sebagai suatu Kerajaan, memiliki wilayah
atau tanah yang diakui secara hukum, baik oleh komunitas lain di sekitarnya
maupun oleh pemerintahan yang berada di atasnya. Pertanyaan penting dalam poin
ini yaitu: Apakah tanah di wilayah Moronene saat ini sungguh-sungguh dimilki dan
dikuasai oleh orang-orang Moronene?
Penguasaan wilayah/tanah, bukan sekedar
kuantitas, tetapi lebih kepada kualitas, yaitu apakah orang Moronene masih
menguasai wilayah atau tanah yang produktif dan strategis di tanah Moronene
ataukah tidak? Apakah orang Moronene masih menguasai wilayah wilayah tambang di
tanahnya? Apakah orang Moronene masih menguasai tanah-tanah produktif yaitu
sawah atau perkebunan produktif ataukah orang Moronene hanya memiliki hutan
tidak produktif? Mengenai laut atau
pesisir penulis dapat simpulkan bahwa orang Moronene pasti tidak menguasainya bahkan hampir tidak ada orang
Moronene yang memiliki tambak. Apakah orang Moronene menguasai wilayah pusat
bisnis di Bombana? Apakah orang Moronene menguasai lahan di pada pusat strategis pemerintahan ?
Intinya
bahwa orang Moronene mungkin masih memiliki tanah Moronene secara kuntitas,
tetapi tidak menguasainya secara kualitas. Orang Moronene tidak menguasai
wilayah pertambangan di Bombana, pusat-pusat bisnis atau pasar, bahkan tidak
ada 5% orang Moronene yang menguasai pusat binsnis di Bombana. Mengenai
penguasaan pusat pemerintahan, masih harus diadaka survey secara khusus.
Kesimpulan apa yang kita dapatkan dari poin ini, yaitu orang Moronene sedang
tidak menguasai lagi tanah Moronene secara kualitas dan di kemudian hari orang
Moronene sedang menjadi pelayan di tanahnya sendiri oleh ulahnya sendiri.
4. Pemimpin Yang Diakui (a
recognizes leader).
Berdasarkan definisi Oxford Dictionary bahwa salah
satu syarat suatu “suku bangsa” harus memiliki “pemimpinan atau system
kepemimpinanan yang di akui kewibawaannya oleh komunitas itu sendiri”. “a social division in a traditional society
consisting of families or communities linked by social, economic, religious, or
blood ties, with a common culture and dialect, typically having a recognized
leader”[13] Pemimpin atau system kepemimpinan yang
diakui adalah syarat bagi suatu komunitas untuk dikualifikasi sebagai suku
bangsa. Dengan cara demikian mereka dapat mengorganisasi
diri dan mengatur kehidupan bersama.[14]
Sejak
pemerintahan tabeano Sangia Raha Watu, Moronene telah takluk di bawah kekuasaan
Kesultanan Buton, oleh karena itu raja di Moronene tidak memilki kedulatan
penuh, sebab tidak ada pemimpin jajahan yang memegang kedaulatan penuh. Sungguh
menggelitik dan menjadi pertanyaan penting, Moronene yang secara geografis
lebih luas dan lebih subur dari Buton, tetapi menjadi wilayah taklukkan Buton. Ada
dua arah sejarah mengenai keadaan ini yaitu Moronene (Kerajaan Keuwia)
ditaklukkan oleh aliansi Kesultanan Buton dan Kesultanan Gowa, dan yang kedua
adalah keputusan pemerintah colonial Belanda untuk memasukkan Moronene sebagai
salah satu wilayah administrasi kesultanan Buton sebagai salah satu Distrik. Orang
Moronene, khususnya wilayah Rumbia harus mengingat dan menaruh hormat kepada
perjuangan Tabeano Mokole F.B Powatu yang pertama kali mengkoordinir empat
puluh kepala kampung untuk membebaskan diri dari kekuasaan Kesultanan Buton
secara hukum.
Sejak
Indonesia merdeka, sangat jarang putra Moronene yang memimpin di wilayah
Moronene sendiri, bahkan untuk menjadi camat. Setelah wilayah Moronene di
mekarkan menajdi Kabupaten, terhitung hanya seorang putra Moronene yang pernah
menjadi bupati di Bombana. Bagi sebagian pembaca hal mungkin sesuatu yang
wajar, tetapi bagi penulis sendiri hal ini adalah sesuatu yang tidak
sepantasnya. Orang Moronene sudah seharusnya berpikir untuk memimpin Sulawesi
Tenggara, sebab dengan begitu bangga kita menyatakan bahwa orang Moronene suku
tertua di Sulawesi Tenggara, tetapi untuk mendudukan seorang putra daerah
sendiri sebagai bupati di tanah Bombana orang Moronene belum mampu. Penulis
tidak bermaksud membangkitkan politik identitas, tetapi adalah suatu kewajaran
jikalau suatu komunitas memiliki pemimpinnya dari komunitasnya sendiri. jika komunitas lain bisa, mengapa orang
Moronene tidak bisa. Seorang pemilik
rumah mungkin tanpa sengaja membakar rumahnya sendiri, tetapi ia tidak
akan pernah merencanakan merampok rumahnya sendiri, apa lagi membakarnya. Saat
ini penulis memberi tantangan untuk membuat suatu survey di Bombana berapa
orang Moronene menjadi Camat, kepala dinas, lurah, kepala sekolah dan lain
sebagainya? Dewasa ini jika orang Moronene ingin memiliki pemimpin-pemimpin
politik maka jalan satu-satunya adalah harus dilmulaikan dari pengkaderan
lembaga-lemabag formal politis yang menjadi sekolah lapangan bagi generasi muda
Moronene. Sadar tidak sadar pengkaderan semacam ini tidak dianggap penting,
tidak dikerjakan, dan pada saatnya musim menuai tiba, tidak tersedia kader
orang Moronene sehingga gugur dengan sendirinya, sebuah refleksi yang tanpa
sadar terus dan akan terus terjadi. Pada siapakah kita berharap? Sudah saatnya
bergerak dan memulai.
a
Mungkin
memiliki pemimpin secara politis telah menjadi suatu angan-angan belaka, tetapi
masih adakah harapan bagi orang Moroene memiliki pemimpin nonpolitis yang
diakui dan dihormati, serta di taati oleh orang Moronene sendiri? Seorang
pemimpin atau lembaga yang menjadi kehormatan bagi orang Moronene?
Konon
orang Moronene memiliki raja yang disebut Apua dan konon orang Moronene
meemiliki lembaga adat? Tetapi apakah semuanya itu diakui dan dihormati oleh
orang Moronene sebagai suatu identitas? Apakah Apua dan Lembaga Adat Moronene
di hormati oleh pemerintah setempat secara nyata? Apakah Apua dan lembaga adat
Moronene dapat bertindak mengatasnamakan orang Moronene? Apakah setatus yang
disematkan itu justru dijadikan alat untuk bertindak bagi kepentingan pribadi!
Bukan penulis yang bertanggung jawab menjawab semua itu. penulis kembalikan
tanggung jawab itu kepada seluruh anak-anak Moronene!
Penutup:
1. Kata orang hidup adalah pilihan. Menurut penulis
tidak semua sisi hidup manusia adalah pilihan. Ada hal yang tidak dapat dipilih
oleh manusia yang lahir di bawah matahari, ia tidak dapat memilih menjadi anak
siapa, ia tidak dapat memilih kapan ia lahir, ia tidak dapat memilih tanah
dimana ia dilahirkan, ia tidak dapat memilih dari “suku bangsa apa” ia lahir.
Terlahir sebagai orang Moronene bukan pilihan, tetapi pemberian Allah, oleh
karena itu ia akan selalu menjadi “anugerah yang indah, sebab datangnya dari
Allah”. Karena Moronene adalah pemberian Tuhan, maka ia sejajar dengan
suku-suku bangsa yang lain di muka bumi ini dalam hal apapaun, Moronene berhak
eksis hingga dunia ini berakhir dan Tuhan teentunya memberikan tanggung jawab
itu kepada anak-anak Moronene siapapun dia.
2. Siapa yang tidak menyadari identitasnya, tidak
menghargai identistasnya dan tidak bangga dengan identitasnya, sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang belum merdeka, mereka tidak memiliki nilai untuk
dibanggakan dan diperjuangkan.
3. Moronene sedang menuju kepunahan dan saat ini sedang
terjadi. Masih adakah secercah harapan bagi orang Moronene untuk menjaga
eksistensinya di bumi ini, khususnya di Tanah Moronene?
[3] Menurut Frederick Barth:Pengertian suku ialah berupa himpunan
manusia karena adanya kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa ataupun merupakan
kombinasi dari kategori yang masuk terikat pada sistem nilai budaya. Menurut
Koentjaraningrat: Suku bangsa ialah sekelompok manusia yang memiliki kesatuan
dalam budaya dan terikat oleh kesadarannya akan identitasnya tersebut,
kesadaran dan identitas yang dimiliki biasanya di perkuat dengan kesatuan
bahasa. Menurut Hasan Shadily MA: Menurut Hasan Shadily MA memaparkan bahwa
suku bangsa “etinis” ialah merupakan segolongan rakyat yang dianggap memiliki
hubungan biologis. Menurut Eriks Wolf & Fredrik Brath: Memiliki
tanggapan etnisitas sebagai hasil interaksi, serta bukan sifat-sifat hakiki
suatu kelompok.
[4] Wem Hendra: Makalah teologi penanganan Refugee.
[5] Urbanisasi dan perkawinan antar etnis juga bisa menjadi penyebab
punahnya bahasa daerah karena sang orang tua tak lagi mengajarkan bahasa dari
daerah asalnya kepada sang anak. Mereka sendiri juga tak lagi menggunakannya
secara aktif karena tinggal di daerah yang berbeda. Abdul Rachman Patji: http://lipi.go.id/lipimedia/139-bahasa-daerah-di-indonesia-terancam-punah/15938 (The Jakarta Post, Selasa (2/8/2016).
[8] Berger & Luckman, 1966: 36–37.
[9] David Abram, Spell of the Sensuous (New York,
NY: Vintage Books, 1997), 89.
[10]Abdul Rachman Patji: http://lipi.go.id/lipimedia/139-bahasa-daerah-di-indonesia-terancam-punah/15938 (The Jakarta Post, Selasa (2/8/2016),
[11] Kamis, 15 Desember 2011
14:34 WIB , Rumbia, Sultra (ANTARA News) https://www.antaranews.com/berita/288996/bahasa-moronene-terancam-punah
[12] Abdul Rachman Patji: http://lipi.go.id/lipimedia/139-bahasa-daerah-di-indonesia-terancam-punah/15938 (The Jakarta Post, Selasa (2/8/2016),
[13] https://en.oxforddictionaries.com/definition/tribe
[14] Baca Doxa: Moronene dan Dempkrasi.