Nenek Jus
I Kor. 9:1-27
Nenek Jus itulah panggilan seorang nenek di jemaat dimana
penulis lahir. Nenek Jus telah lama meninggal dan mungkin tidak ada seorangpun
yang menaruh ingatan kepadanya, tetapi ketika menuliskan tulisan ini penulis
teringat kepadanya. Nenek Jus tinggal berdua dengan suaminya di sebuah pondok
di kebun dekat hutan, mereka hidup dengan bertani sayur-sayuran dan beternak
unggas seadaya dan itulah satu-satunya penunjang hidup mereka.
Nenek Jus dan suaminya tidak pernah besekolah, tetapi karena
ingin membaca Alkitab maka mereka berusaha belajar membaca. Nenek Jus
adalah orang Kristen yang taat,
ketaatannya itu telah dibuktikan dengan kesetiaan mereka pada saat DI/TII menganiaya
mereka karena iman mereka. Selain itu ketaatan mereka kepada Tuhan dibuktikan
dengan kedisiplinan mereka dalam persekutuan dan pelayanan kepada orang-orang
kudus.
Nenek Jus dan suaminya menarik perhatian penulis karena
memilliki ciri khas sendiri. Pada saat ke Gereja nenek Jus memakai sarung dan
tidak beralas kaki dan suaminya selalu mengenakan peci hitam tetapi ketika akan
memasuki gereja peci itu akan di copot dan ia akan duduk menunduk sebagai suatu
bentuk penghormatan kepada Kristus dan kesucian ibadah.
Menurut ukuran, nenek Jus seharusnya mendapat dukungan dari
gereja tetapi gereja belum sadar akan pentingnya pelayanan diakonia, tetapi
dalam kesederhanaanya nenek Jus justru menjadi seorang Kristen yang taat dalam
persembahan. Setiap Minggu sebelum ke Gereja ia akan ke pasar menjual sayur
hasil taninya dan dengan hasil itu ia memberi persembahan kepada Tuhan, dan
juga ia taat membawa sayuran untuk bapak pendeta kami. Ketika gereja
mengumpulkan dana untuk pembangunan gedung Gereja, nenek Jus adalah jemaat yang
paling disiplin maju ke depan dan mengisi kotak persembahan khusus untuk
pembangunan.
Dari apa yang dilakukan oleh orang sederhana seperti nenek Jus,
mengajarkan kepada kita sekalian bahwa setiap orang Kristen yang telah
merasakan kasih karunia Tuhan akan memahami bahwa apapun yang ada dalam kehidup
kita sekalian adalah dari Tuhan, hidup, kesehatan, talenta, harta benda,
semuanya adalah dari Tuhan, oleh karena itu seberapapun bangkrutnya seorang
Kristen tidak dapat menutup pintu ucapan syukur kepada Allah.
Sebagai orang yang telah merasakan kasih karunia Tuhan, hati
nenek Jus dipenuhi dengan “kemurahan”, itulah sebabnya dalam kekurangannya ia
setia memberi persembahan untuk mendukung pekerjaan Tuhan dan setia membawa
sayur bagi pendeta yang dikasihinya. Mungkin saudara akan mengatakan berapa
nilainya sayur? bagi saudara mungkin tidak ada nilainya, tetapi hanya itulah
yang nenek Jus miliki untuk diberikan, itulah yang menjadi sumber kehidupan mereka
hari lepas hari. Nenek Jus memberi dari apa yang dipunyainya dan tentu itulah
yang akan dituntut Tuhan darinya.
Suatu
hari Tuhan mamanggil nenek Jus dan ketika jemaat akan memasukkan Alkitabnya
kedalam peti bersama dengan jenazahnya, mereka menemukan foto anak-anaknya dan
juga foto semua pendeta yang pernah menggembalakannya. Nenek Jus selalu
menangisi pendetanya ketika mereka harus pindah tugas dan selalu meminta foto
mereka untuk mengingat mereka. Hubungan indah antara seorang jemaat
seperti nenek Jus dan para hamba Tuhan adalah
seperti yang dikatakan oleh Paulus “Mereka
memberikan diri mereka, pertama-tama kepada Allah, kemudian oleh kehendak Allah
juga kepada kami” (2 Kor. 8: 5).
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.