Sebagaimana janji saya bahwa kita akan merenungkan hal penting yang selalu kita bicarakan di luar gereja yaitu “mengenai takdir dan nasip”, walau dalam Alkitab tidak ada kata takdir & nasib, tetapi ada beberapa penerjemahan Alkitab Indonesia yang memakai kata nasib dalam arti kontekstual.
Banyak orang Kristen karena pergaulannya sehari-hari yang bersentuhan dengan orang Islam, akhirnya memiliki pemahaman yang sama seperti orang islam pada umunya, yaitu percaya pada takdir atau nasib. Hal ini pula yang mempengaruhi devinisi Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan nasib dan takdir sebenarnya pada posisi yang sama yaitu ketetapan Allah akan hal yang akan terjadi pada seseorang.
Berbicara takdir dan nasib seluas lingkup manusia dan ketetapan Allah. Apakah Tuhan menentukan takdir atau nasib seseorang? Apakah Tuhan menentukan hidup seseorang akan seperti apa? Apakah Tuhan yang menentukan pendek dan panjangnya hidup seseorang? Apakah Tuhan yang menentukan kematian seseorang seperti apa? Apakah Tuhan yang membuah nasib seseorang akan sial, miskin dan kaya? Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya pertanyaan biasa dalam hidup kita sehari-hari.
Pertanyaan-pertanyaan di atas selalu hadir jika ada sesuatu yang diluar harapan manusia. Jika seseorang mejadi kaya, maka tidak ada yang pernah mempertanyakan Tuhan atas kekayaan tersebut. Jika seseorang meninggal di usia muda, maka pertanyaan ini selalu muncul dan tidak muncul ketika seseorang mati dalam keadaan sepuh dan dalam keadaan sehat. Mengapa?
Apakah wajar seseorang panjang umur dan sehat, dan ketika seseorang mati diusia muda dan sakit? apakah wajar jika seseorang hidup kaya? Dan tidak wajar jika seseorang hidup miskin? Apakah meningga diranjang yang hangat adalah wajar, dan meninggal dalam kecelakaan adalah tidak wajar? Ukuran apa yang kita pakai untuk mengatakan wajar dan tidak wajar?
Apakah Allah memiliki kewajiban menjadikan setiap orang hidup kaya, sehat, panjang umur? Atau apakah setiap orang kaya, panjang umur dan sehat adalah takdir atau nasib dari Allah?
Kehidupan yang bagaimanakah yang wajar bagi orang berdosa?
Sebelum kita jauh melangkah utuk memahami ketetapan Allah akan hal-hal yang terjadi pada diri manusia, maka terlebih dahulu kita harus memahami sifat ketetapan Allah itu sendiri:
Bagaimana kita mengetahui bahwa ini takdir Allah atau bukan takdir Allah? Ketika kita berbicara mengenai takdir, maka kita sedang berbicara hal-hal yang tidak kita ketahui, sebab takdir adalah sesuatu yang ditetapkan Allah untuk terjadi atas diri seseorang.
Jika kita memahami takdir adalah “ketetapan Allah pada setiap priabadi”, maka kita perlu mengetahui apa itu “ketetapan Allah” atau bagaimana Allah menetapkan segala sesuatu, termaksud menetapkan batasan-batasan pada setiap manusia, atau apa yang akan terjadi pada setiap mansia. Sifat ketetapan Allah adalah:
1. Allah menetapkan segala sesuatu dalam kekekalan.
Apa itu kekal? Kekal yaitu tidak berproses, atau diluar dimensi waktu. Alkitab mengatakan bahwa Allah itu dulu ada, sekarang ada, dan akan datang, atau diwaktu datang Ia ada. Rencana Allah itu kekal dalam pengertian sempurna dalam diri-Nya. (Yak. 1: 17).
Ketika rencana kekal Allah dinyatakan pada manusia yang terperangkap dalam waktu, disinilah kesulitan manusia untuk menyelami bagaimana rencana itu, sebab ia selalu akan berpikir secara proses.
L. Boettner: Kita adalah makhluk waktu, dan seringkali melupakan fakta bahwa Allah tidak terbatas seperti kita. Apa yang kelihatan bagi kita sebagai 'lampau', 'sekarang', dan 'akan datang', semuanya adalah 'sekarang' bagi pikiranNya. Itu adalah 'sekarang' yang kekal. Ia adalah 'Yang tinggi dan mulia yang mendiami kekekalan' Yes 57:15. 'Seribu hari dalam pandanganMu adalah seperti kemarin, pada waktu itu berlalu, dan seperti suatu giliran jaga pada malam hari' Maz 90:4. Karena itu peristiwa-peristiwa yang kita lihat terjadi dalam waktu hanyalah merupakan peristiwa-peristiwa yang telah Ia tetapkan dan tentukan di hadapanNya dari kekekalan. Waktu adalah milik / sifat dari ciptaan yang terbatas dan terpisah dari Allah. Ia ada diatasnya dan melihatnya, tetapi tidak dikuasai / diatur olehnya. Ia juga tidak tergantung pada tempat, yang merupakan milik / sifat yang lain dari ciptaan yang terbatas. Sama seperti ia melihat dalam sekali pandang jalanan dari New York ke San Francisco, sementara kita melihat hanya sebagian kecil darinya pada waktu kita melewatinya, demikian pula Ia melihat semua peristiwa-peristiwa dalam sejarah, lampau, sekarang, dan yang akan datang dalam satu kali pandang. Pada waktu kita menyadari bahwa proses lengkap dari sejarah ada di depan-Nya sebagai 'sekarang' yang kekal, dan bahwa Ia adalah Pencipta dari semua keberadaan yang terbatas, doktrin Predestinasi sedikitnya menjadi doktrin yang lebih mudah) - 'The Reformed Doctrine of Predestination', hal 44-45.
Allah yang kekal itu adalah Allah yang tidak salah dan tidak mungkin salah, bahkan semua rancangan-Nya adalah sempurna, dan tidak ada kegelapan dalam rencana-Nya. Kekekalan Allah berdampak pada semua ketetapannya atas segala sesuatu bukan suatu yang insidentil sifatnya, atau bersifat antisipatif, atau sebab akibat. Allah tidak menjanjikan Juru Selamat kepada Adam dan Hawa atau kepada manusia, akibat dari kejatuhan dari dosa, jika demikian maka janji Juru Selamat itu bersifat akibat.
Kita patut bersyukur dan memuji Allah yang menetapkan segala sesuatu dalam kekekalan, sehingga apa yang ditetapkan-Nya itu teguh adanya atau pasti, teristimewa ketetapan keselamatan yang kita telah terima adalah teguh yang tidak dapat dikuasai oleh maut sekalipun. Demikian pula apa yang ditetapkan-Nya adalah rancangan damai sejahtera, bukan rancangan kecelakaan.
2. Allah menetapkan dalam Kedaulatan-Nya.
Kata 'berdaulat' dalam bahasa Inggris adalah 'sovereign', yang berasal dari bahasa Latin superanus (super = above, over). Dan dalam Kamus Webster diberikan definisi sebagai berikut tentang kata 'sovereign'.
Karena itu kalau kita percaya bahwa Allah itu berdaulat, maka kita juga harus percaya bahwa Ia menetapkan segala sesuatu, dan bahwa Ia melaksanakan ketetapanNya itu tanpa tergantung pada siapapun dan apapun di luar diri-Nya! Jelas adalah omong kosong kalau seseorang berbicara tentang kedaulatan Allah / mengakui kedaulatan Allah, tetapi tidak mempercayai bahwa Rencana Allah dan Providence of God itu mencakup segala sesuatu dalam arti kata yang mutlak!
Louis Berkhof: "Theologia Reformed menekankan kedaulatan Allah atas dasar mana Ia secara berdaulat telah menentukan dari sejak kekekalan apapun yang akan terjadi, dan mengerjakan kehendakNya yang berdaulat dalam seluruh ciptaanNya, baik yang bersifat jasmani maupun rohani, menurut rencanaNya yang sudah ditentukan sebelumnya. Ini sesuai dengan Paulus pada waktu ia berkata bahwa Allah 'mengerjakan segala sesuatu menurut keputusan kehendakNya' (Ef 1:11)] - 'Systematic Theology', hal 100.
Allah adalah pribadi yang berdaulat (independent), manusia dependent (tidak mandiri). Jika Allah tidak berdaulat maka Ia bukan Allah. Walau Allah adalah Allah yang berdaulat, Ia juga adalah sumber moral, etik dan kasih yang kudus.
Allah menggambarkan kedaulatan-Nya kepada Nabi Elisa sehubungan dengan hubungan Allah dan manusia atau Israel bagaikan seorang tukan periuk kepada gumpalan tanah, dimana periuk tidak dapat mengajukan pertanyaan kepada pembuatnya.
Allah menetapkan segala sesuatu berdasarkan kedaulatan-Nya, dalam pengertian hanya kehendak-Nya saja, itulah sebabnya Allah membuat Adam tertidur ketika menciptakan Hawa. Walau demikian Allah yang berdaulat itu bukan Allah yang semena-mena tanpa aturan, sebab ia terikat pada diri-Nya sendiri yang kudus, sumber kasih dan moral.
Allah menyatakan kedaulatan-Nya kepada Ayub dalam Ayub,38-42, bagaimana Tuhan menciptakan segala sesuatu dalam kedaulatan-Nya, hikmat-Nya yang sempurna. Ia bukan hanya menciptakan tetapi menetapkan segala sesuatu batasan pada ciptaan-Nya.
Allah yang berdaulat adalah jaminan semua ciptaan dan ketetapan Allah berada dalam kuasa-Nya, bahwa Dia memegang kuasa atau kendali atas ciptaan, bahwa Ia tetap berkuasa atas ketetapan-Nya dimana kita menyadari bahwa banyak kuasa perusak yang berusaha menghancurkan system ciptaan Allah dan ketetapan-Nya atas ciptaan.
3. Allah menetapkan segala sesuatu bersama-sama dengan pengetahuan-Nya.
Allah itu maha tahu.: "Karena TUHAN itu Allah yang maha tahu". 1Sam 2:3. Pengetahuan Allah itu adalah pengetahuan kekal atau sempurna dan tidak berproses.
Polemic yang berkembang antara “katolik, Calvinisme dan Armenianisme” salah satunya terletak pada pengetahuan Allah, atau pra-pengetahuan Allah, bahwa Allah tahu dahulu lalu menetapkan (menurut Armenian), sedangkan dari kaum Calvinis yaitu karena Allah menetapkan dahulu oleh karena itu Ia menjadi tahu. Sebagaimana pemikiran beberapa teolog seperti William G. T. Shedd:
“Ketetapan ilahi adalah syarat yang perlu dari pengetahuan lebih dulu dari Allah. Jika Allah tidak lebih dulu menentukan apa yang akan terjadi, Ia tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi. Suatu peristiwa/kejadian harus dipastikan, sebelum peristiwa itu bisa diketahui sebagai peristiwa yang tertentu....Selama sesuatu tidak ditetapkan, maka sesuatu itu bersifat tergantung / mungkin dan kebetulan. Itu bisa terjadi atau tidak terjadi. Dalam keadaan demikian, tidak bisa ada pengetahuan apapun tentang hal itu) - 'Shedd's Dogmatic Theology', vol I, hal 396-397.
Penulis menekankan pada poin kekekalan Allah, bahwa jika kita masih membicaran penetapan mendahului pengetahuan Allah, atau sebaliknya, atau membicarakan ketetapan Allah dengan suatu proses atau sebab akibat, maka itu tidaklah kekal, sebab sifat penetapan Allah itu kekal atau tidak berproses, atau bukan sebab akibat.
Allah menetapkan dan mencipta berasma-sama dengan pengetahuan-Nya, menjadikan apa yang diciptakan-Nya dan batasan-batasan bagi ciptaan-Nya, atau apa yang akan terjadi pada ciptaan-Nya itu sebagai karya yang baik dan sangat baik adanya, karena teradi bersama pertimbangan agung-Nya, oleh karena itu hal ini menjadi jaminan bahwa ketapan-Nya pada kita adalah baik dan mampu dipahami walau terbatas.