Dalam hidup ini, kita mengharpkan hidup yang bermakna, tenang, bahagia, diberkati, dan damai sejahtera. Tetapi kenyataan semua itu sulit terjadi. Mengapa? Sebab ada suatu yang sering meracuni hidup untuk berkembang, bertumbuh, bahagia, dan tentram, yaitu kekuatiran.
Kekuatiran tidak mengenal batas: ia dapat menyerang orang kaya, orang pandai, orang tidak beriman, tetapi juga orang beriman. Dan yang sangat menyedihkan jika kekuatiran itu menyerang orang miskin yang tidak percaya. Itulah sebabnya kita selalu bingung dengan hidup ini.
Kita mungkin akan mengatakan adalah wajar jika orang miskin kuatir apakah esok hari anak-anaknya akan makan atau tidak, dan orang miskin itu mengatakan alangkah bahagianya menjadi orang kaya, tetapi ternyata kekuatiran model lain juga menyerang orang kaya. Orang miskin kuatir tidak mendapatkan sesuatu, orang kaya kuatir kehilangan.
Seorang anak di kampung penulis, berhenti sekolah pada kelas 3 SD. Ketika ditanya mengapa ia tidak sekolah? jawabannya adalah: untuk apa sekolah, toh presiden sudah ada, guru uda banyak, tentara uda banyak, bahkan satpampun banyak, jadi untuk apa sekolah!
Banyak orang tua yang tidak mau lagi menyekolahkan anaknya, sebab pikirnya anaknya tidak ada kemajuan, oleh karena itu buang-buang ongkos. Banyak anak berhenti sekolah, berhenti belajar, berhenti mencoba, sebab ia merasa bahwa dia tidak memiliki kemampuan, kepintaran. Yang dilakukannya hanya sekedar bertahan hidup. Semua hal ini berbicara satu hal yaitu “hilangnya harapan”.
Pengharapan bukanlah pemikiran yang tidak pasti. Pengharapan bukanlah kalimat seperti ini, “Saya tidak tahu apakah akan terjadi, tapi saya harap hal itu terjadi.” Hal itu sama sekali bukan hal yang dimaksud dari pengharapan Kristen. (I Ptr. 1: 13).
Pengharapan Kristen adalah pada saat Tuhan sudah berjanji bahwa sesuatu akan terjadi dan anda meletakkan kepercayaan anda di dalam janji tersebut. Pengharapan Kristen adalah sebuah kepercayaan bahwa sesuatu akan terjadi dengan pasti karena Tuhan sudah menjanjikannya dan hal itu pasti terjadi.
Kekuatiran dapat melanda dan meracuni hidup siapapun, termaksud orang Kristen, tetapi pengharapan dapat mengalahkannya. Oleh karena itu pengharapan sungguh penting dalam hidup orang beriman. Apa pentingnya pengharapan bagi orang percaya?
1. Pengharapan membuat seseorang hidup.
Kalau saat ini saya mengatakan kepada saudara sekalian, mari kita berbicara mengenai hidup, maka anda mungkin akan berkata untuk apa membicarakan hidup, buktinya saya dan kamu hidup, untuk apa membicarakan hidup? Hidup bukan untuk dipikirkan atau dibicarakan, tetapi dijalani.
Tentu bahwa berbicara mengenai hidup, bukan sekedar bernafas dan masih beraktifitas, tetapi lebih dari itu. Kita ingin hidup kita yang singkat bermakna, mulia, tenang, bahagia dan danami sejahtera. Tetapi yang lebih sering kita temui yaitu hidup yang penuh masalah, hidup tanpa tujuan, sekedar mengikuti siklus hidup manusia pada umunya.
Rasul Paulus mengatakan: Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia. Kalau hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan manusia saja aku telah berjuang melawan binatang buas di Efesus, apakah gunanya hal itu bagiku? Jika orang mati tidak dibangkitkan, maka "marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati ". (I Kor. 15: 19, 32).
Rasul Paulus berbicara mengenai pengharapan kebangkitan tubuh yang didasarkan oleh kebangkitan Yesus Kristus, tetapi pengharapan akan kebangkitan tubuh itu juga menjadi pengharapan untuk hidup dalam Kristus didunia ini dengan hidup yang berpengharapan ditengah-tengah berbagai kesulitan dan penderitaan di dunia ini.
Itulah sebabnya mengapa kita menemukan orang kaya bunuh diri, artis terkenal bunuh diri, orang pandai bunuh diri. Kita mungkin tidak melakukan hal itu, tetapi kita hidup bagai layang-layang putus tali, tak ada arah, tak ada tujuan, melayang sesuai arah angin pencobaan.
Kekuatiran membuat kita tidak tenang, takut dan tidak bahagia. Mengapa demikian? Karena kita telah mengambil semua beban dan hal-hal yang ditakutkan dan memikulnya, baik mengenai masa lalu, masa kini dan masa depan. ini bukan hidup yang diinginkan manusia.
Pengharapan membuat kita hidup, bukan hanya hidup tetapi hidup yang bermakna, hidup yang tenang, hidup yang damai. Pemazmur mengatakan: “Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku.” (Mzm 62:5).
2. Menjaga konsistensi iman dan hidup orang percaya.
Penulis Ibrani menggambarkan ‘pengharapan’ bagai sauh bagi jiwa. Sauh yang tertancap pada belakang tabir. Ada apa dibelakang tabir? Ada Tabut perjanjian. Tabut Perjanjian melambangkan kehadiran Allah ditengah-tengah umat-Nya, mengingatkan umat Israel akan peristiwa perjanjian Allah dengan mereka, dan Allah yang berjanji itu adalah setia. Oleh karena itu pengharapan Kristen sungguh kokoh, sebab ia berasal dan tertanam pada janji Allah.
Marthin Luther mengatakan: “pikiran manusia adalah pelacur”, dalam pengertian bahwa: secara natur pikiran manusia tidak setia, tidak konsisten, labil dan berubah-rubah sesuai dengan keadaan.
Jika pikiran yang adalah unsur paling kokoh dalam diri manusia tidak konsisten dan labil, terlebih lagi dengan perasaan dan emosi. Oleh karena itu pikiran, perasaan, emosi manusia memerlukan tambatan yang kokoh. Sebagaimana syair “tambatan hati” yang selalu kita dengar. Kita juga selalu mendengar perumpamaan: “rumput tetangga selalu lebih hijau”, Ini adalah ungkapan yang menggambarkan jiwa orang yang labil, tidak memiliki konsistensi.
Kitab Ibrani mengatakan: “Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir.” (Ibr. 6: 19). Setiap orang menikah pada mulanya merasa bahagia dan akhirnya tidak ada keluarga tanpa tetesan air mata, dan banyak orang menikah ingin keluar dari pernikahan, tetapi pengharapan membuat kita bertahan dalam pernikahan dan kembali menyusun serpihan kebahagiaan yang dulu pernah ada. Coba kita bayangkan jika tidak ada pengharapan, berapa keluarga hancur, berapa anak-anak menjadi korban didalamnya. Itulah sebabnya sastra Tiongkok kuno menggambarkan rumah tangga bagai “kota yang terkepung”, dimana orang diluar ingin masuk dan orang yang didalam ingin keluar.
Demikian pula dengan, kerja, pendidikan, karier, pelayanan, memerlukan pengharapan. Banyak orang yang minta didoakan agar dapat pekerjaan baru, tetapi ketika bekerja, ia menghadapi banyak masalah dalam pekerjaan, rasa bosan dan lain sebagainya, coba bayangkan jika tidak ada pengharapan bagi jiwanya, maka dengan gampang ia akan keluar masuk kerja.
Terlebih dari semua itu, pikiran, emosi dan perasaan kita memerlukan pengharapan dalam iman kita kepada Kristus, dimana kita hidup ditengah-tengah dunia ini yang penuh gelombang arus pencobaan.
3. Pengharapan Memberikan keberanian.
Ketika Allah mengutus Musa, Musa menolak kemauan Allah itu, mengapa Musa menolak? Musa tidak memiliki keberanian untuk memimpin bangsa yang tegar tengkuk itu, terlebih lagi ia telah memiliki pengalaman pahit terhadap Bangsanya sendiri. Demikian pula dengan Saul, Yeremia.
Untuk memulai usaha, modal bukanlah hal yang pertama yang kita butuhkan, tetapi keberanian. Bob Sadino mengatakan: usaha yang baik adalah usaha yang dimulai, bukan yang sekedar direncanakan.
Untuk memiliki keberanian, maka seseorang butuh pengharapan. Ia berharap bahwa apa yang dimulainya itu akan berhasil. Keberanian tanpa harapan itu namana nekat.
Untuk segala sesuatu ada resikonya. Bahkan menjauhi resiko itu sendiri adalah resiko terbesar. Memulai dan menjalani rumah tangga, memulai dan menalani pelayanan, memulai dan menjalani usaha, memulai dan menjalani kerja. Pengharapan menjadikan seseorang berani menghadapi resiko.
Beriman dan menyatakan iman kepada Kristus membutuhkan keberanian, apa lagi dalam menjalani iman dan pelayanan kita. Dalam resiko dan beban pelayanan yang berat, Rasul Paulus mengatakan: “Karena kami mempunyai pengharapan yang demikian, maka kami bertindak dengan penuh keberanian”. (2Kor 3:12).
Teruslah hidup dalam pengharapan kepada Kristus, sebab Allah kita adalah setia. Pengharapan dalam Kristus adalah harta yang Allah berikan bagi kita untuk menjalani hidup ini. Dan biarlah kita dapat berkata seperti Rasul Paulus: “Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit ; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa.” (2 Kor 4: 7-8).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar: