Nenek
Moyang Orang Moronene Tidak Tahu Meminta Maaf.
Bahasa merupakan pokok
penting dari dari suatu budaya. Menurut Sturtevent: "bahasa adalah sistem
lambang sewenang-wenang, berupa bunyi yang digunakan oleh anggota-anggota suatu
kelompok sosial untuk kerja sama dan saling berhubungan".
Manusia merupakan mahluk
yang memiliki "sense of social" sehingga ia disebut mahluk
sosial, oleh karena itu ia membutuhkan
bahasa untuk aktualisasi diri dan kelompok. Dengan potensi itu, manusia
membentuk lambang-lambang untuk membedakan dan memberi nama, membatasi cara-cara berpikir dan
pandangan yang bersangkutan terhadap fenomena dan realitas
yang ada disekitarnya. Pada akhirnya manusia memakai bahasa untuk mengungkapkan
kedalaman makna nilai-nilai budayanya dan hal-hal yang supra natural.
Bahasa tidak pernah lepas
dari kontek budaya dan keberadaannya selalu dibayangi oleh budaya. Bahasa
adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat
pengguna bahasa tersebut. Degradasi budaya akan mempengaruhi bahasa yang
dipergunakan oleh komunitas budaya.
Menurut para ahli
komunikasi, ada tiga kata ajaib dalam hubungan manusia yang membuat hubungan
itu berjalan hamonis dan konstruktif yaitu "tolong, maaf dan terima
kasih". Dua kata terakhir ini tidak terdapat dalam bahasa Moronene. Dalam
penerjemahan Injil Perjanjian Baru oleh Dr. David Anderson dan team, kata
"maaf" diterjemahkan dengan "ma'apu", kata ini bukanlah
murni bahasa Moronene, tetapi pengadopsian bahasa Indonesia, itulah juga
mengapa penulis mengatakan "Nenek Moyang orang Moronene" sebab mereka
pencipta budaya dan penutur pertama bahasa Moronene.
Dalam pernyataan penulis
sebelumnya, penulis mengatakan bahwa Nenek Moyang orang Moronene tidak pandai
meminta maaf. Pernyataan ini pertama-tama didasari oleh kenyataan dalam bahasa
Moronene tidak terdapat kata "maaf".
Ambil contoh dalam bahasa Jawa
terdapat kata maaf yaitu "ngapuro atau ngapunten", lalu apakah dengan
demikian nenek moyang orang Moronene berbudaya rendah dibanding suku-suku lain?
Dengan tegas penulis katakan tidak! Bahkan dengan bangga penulis mengatakan
nenek moyang Moronene berbudaya sangat tinggi dan mulia.
Walau dalam bahasa Moronene tidak
terdapat kata "maaf" tetapi terdapat kata "tabea". Kata tabe memang dipergunakan oleh suku-suku
lain yang berada di wilayah Sulawesi, tetapi dalam bahasa Moronene kata ini
menemui penambahan yaitu "ea" (besar). "Tabe" sendiri
berati "permisi, izin atau perkenan" sebelum melakukan suatu
tindakan. Kata "tabea" bersifat panteisme. Kata "tabea"
mengungkapkan kesempurnaan, yaitu kesempurnaan dalam motifasi, perencanaan,
proses, dan harapan. Tabea bukanlah antisipasi "kesalahan dan
kegagalan".
Lalu apakah nenek Moyang Moronene
berlindung didalam kata "tabea" ketika mereka melakukan kesalahan
atau melanggar norma sosial serta adat? tentu saja tidak!
Nenek Moyang Moronene, tidak mengenal kata "maaf", semua
pelanggaran akan diselesaikan dengan "ko-hala", Ko-hala pertama-tama
merupakan suatu tindakan "rekosiliasi" dan dalam tarap tertentu ia
adalah hukum. Kohala memiliki tahap dan tingkatan yang disesuaikan dengan
pelanggaran. Kohala sendiri mengungkapkan bahwa Nenek Moyang Moronene tidak
memiliki budaya meminta maaf dalam proses verbal tanpa makna, tetapi dalam bentuk
tindakan-tindakan perlambangan dan ritus yang sarat makna.
Pesan-Pesan:
1. Ini adalah tulisan bebas,
berhubung IQ penulis hanya 0,1 GB dan tidak tamat SD, maka mintalah saudara yg
IQ 1 tera untuk memberikan referensinya.
2. Nama group ini adalah
"Bombana Cerdas" maka cerdas dan santunlah dalam menanggapi setiap
statement.
3. Ketiga, kalau bertemu saya
jangan disate terlebih dahulu sebelum diajak ngopi dan jangan lupa dibayarin.
4. Terakhir. mengenai
"terima kasih" mohon Miru yg tulis....????
Salam
damai..Hendra Amor.