Perubahan, selain keniscayaan, juga sebagai “tanda kehidupan & proses pemurnian”. Kehidupan dalam iman Kristen bukan sekedar fisik, tetapi juga rohani. Oleh karena itu, untuk hidup yang sejati, harus ada perubahan baik fisik maupun rohani.
Perubahan adalah tanda pertumbuhan rohani. Ada yang terjadi secara radikal, dan ada yang terjadi secara perlahan. Entah radikal atau perlahan, dari buahnya kita akan mengenal benihnya.
Bertambah usia dan tua adalah kepastian bagi yg hidup, tetapi menjadi dewasa adalah ‘pilihan hidup’. Menjadi dewasa menuju dua hal yaitu dewasa secara emosi dan rohani. Kedua hal ini harus dibedakan, sebab banyak orang yang dewasa pemikiran, tetapi tetapi tidak dewasa secara rohani.
Kedewasaan rohani adalah karsa dua pribadi, yaitu manusia itu sendiri dan Allah. Tak ada seorangpun dapat berubah dan bertumbuh secara rohani hanya berdasarkan kemauan dan usaha pribadi sendiri, tetapi pertama-tama dimulai oleh Allah.
Perubahan adalah “sebuah proses”, yaitu proses logis, tahap demi tahap. Dimana tiap tahapnya akan menentukan hasilnya. Bagaimanakah proses perubahan itu?
Bagaimana Berubah?
1. Anugerah Allah.
Mengapa banyak orang yang mengetahui, bahkan mempelajari iman Kristen tetapi tetap tidak percaya? Bahkan kita menyaksikan beberapa apologet Islam lebih menguasai ayat-ayat Alkitab dari pada banyak orang Kristen, tetapi toh mereka tetap tidak percaya pada Yesus, walau fakta kebenaran Kristus terpampang jelas didepan mereka. Jawaban dari realitas ini, yaitu, “Allah tidak menganugerahkan iman kepada mereka” (Mat. 11: 25).
Anselmus mengatakan “Credo ut intelligam” (saya percaya supaya saya mengerti). Apa yang engkau lakukan adalah apa yang engkau pikirkan, apa yang engkau pikirkan adalah apa yang engkau percayai’, oleh karena itu, perubahan rohani, karakter, dan perilaku adalah hasil dari apa yang dipercayai. Dengan demikian iman adalah titik awal dan penyebab utama perubahan manusia ke arah yang lebih baik.
Iman adalah anugerah Allah. Tidak ada seorang Kristen sejati yang menepuk dada atas semua perubahan dalam dirinya, sebab Allah yang memulai segala yang baik dalam diri manusia dengan cara menganugerahkan iman. (Rom.8: 28).
Iman adalah jendela jiwa untuk melihat terang yang ajaib. Dengan iman kita percaya bahwa Allah ada. Dengan iman kita tahu bahwa jalan keluar dari dosa adalah iman kepada Kristus.
Akhirnya iman anugerah itu, menjadi iman yang menyelamatkan. Iman yang menyelamatkan itu menghasilakan karya dan karsa sebagai tanda syukur kepada Allah yang menganugerahkan-Nya. Karya dalam bentuk perbuatan baik, penemuan teknologi, gubahan, komposisi, dll.
2. Proses belajar.
Suantu anugerah besar terlahir dari keluarga Kristen. Bagi seorang anak, bertumbuh menjadi Kristen di lingkungan mayoritas bukan Kristen adalah beban tersendiri sebab harus berbeda dengan anak lainnya.
Walau demikian, ada hal indah menjadi Kristen, yaitu ketika digendong papa pada subuh hari ke gereja dan mencari telur di rerumputan yang gelap, kemudian hari aku mengerti bahwa itu adalah ‘perayaan paskah Yesus Kristus’ dimana Ia bangkit pada pagi hari.
Hal indah lain yaitu ketika suatu malam duduk dipundak papa untuk menyaksikan suatu drama, dimana ada adegan malaikat bersayap, gereja sangat penuh sesak, jendela gereja penuh sesak, sebab orang islampun datang untuk menonton drama. Kemudian hari aku kenal itu adalah perayaan natal.
Aku bersyukur karena hobi papa menurun kepadaku yaitu suka baca, ketika SD aku sudah membaca dua buku tebal di rumah yaitu Alkitab dan Hikayat Kudus. Pada SD kelas 6 aku belajar gitar sendiri dari buku, dan pada SMP, sudah melatih teman2 remaja untuk memuji Tuhan dalam Vocal Group di Gereja.
Ketika memasuki SMK kelas 2 aku harus berlayar, sebagai seorang remaja aku dipenuhi rasa bingung & takut, saat-saat itu aku mulai mengerti betapa doa adalah jalan keluar bagi orang Kristen, pengalaman pribadi dengan Tuhan mulai dipahami.
Satu kata untuk semua peristiwa diatas adalah ‘proses belajar’. Titik awal iman adalah anugerah, tetapi untuk dapat bertumbuh dan berubah maka harus ada proses belajar.
Prinsip utama belajar adalah ‘mendengar’. Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! (Ulangan 6: 4). Siapa berbicara, ia hanya mengulangi apa yang ada dikepalanya, tetapi siapa yang menaruh perhatian untuk mendengar, belajar banyak hal.
Rasul Paulus mengatakan: "Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus. (Rom.10:17). Allah memanggil manusia lewat Firman-Nya, itulah mengapa iman tidak didasari atas dongeng dan penglihatan, tetapi pendengaran atas Firman Tuhan. Itulah sebabnya mengapa guru Sekolah Minggu harus kreatif dalam menceritakan Firman Tuhan kepada anak-anak.
Hal kedua adalah, proses belajar hanya akan mungkin jika seseorang memiliki kerendahan hati. Dalam panggilan-Nya kepada manusia, Tuhan Yesus mengatakan: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan. (Mat. 11: 28-30). Tuhan Yesus tidak sekedar memanggil kita untuk belajar kerendahan hati dari pada-Nya, tetapi juga memiliki kerendahan hati untuk belajar dan dibentuk oleh-Nya.
Tanpa kerendahan hati, seseorang tidak akan pernah belajar sesuatu. tanpa belajar sesuatu tidak mungkin ada perubahan. Belajar beriman melibatkan seluruh keberadaan manusia, baik hati, fisik, dan pikiran.
Pelajaran iman didapatkan bukan sekedar dalam ruang ibadah, tetapi dalam seluruh kenyataan kehidupan. Pelajaran iman didapatkan lewat suka-duka kehidupan, dalam proses itu kadang ada pengguntingan dari Tuhan yang menyakitkan untuk menumbuhkan lebih banyak buah rohani. Menerima proses pengguntingan itu membutuhkan ‘kerendahan hati’.
3. Komitmen.
Kita memiliki beberapa pengalaman. Dari beberapa pemuda yang aktif mengikuti kegitan gereja, beberapa diantaranya justru akhirnya menukar Yesus dengan Istri atau suami, atau meninggalkan Tuhan Yesus. Apakah mereka menemukan kebenaran baru dalam agama yang baru? Saya yakin ‘pasti tidak’. Apakah pikiran mereka tentang kebenaran telah berubah? saya juga mengatakan tidak! Lalu mengapa mereka begitu saja meninggalkan Yesus sementara mereka sama-sama diajar pokok iman Kristen? Bahkan mungkin secara pengetahuan mereka lebih dari yang lain. Satu hal yang menjadi masalah yaitu “mereka tidak berkomitmen kepada Yesus dan kebenaran-Nya”.
Belajar untuk menjadi tahu, setelah menjadi tahu maka seseorang memiliki prinsip dalam hidup, prinsip hidup ini kita sebut juga dengan komitmen. Komitmen yang dimaksud adalah menetapkan hati untuk menjalani apa yang dipikirkan dan apa yang dipercayai.
Komitmen dalam bahasa Alkitab adalah ‘menetapkan hati atas sesuatu’. Daud mengajarkan kita apa arti komitmen. “dan Daud sangat terjepit, karena rakyat mengatakan kehendak melempari dia dengan batu. Seluruh rakyat itu telah pedih hati, masing-masing karena anaknya laki-laki dan perempuan. Tetapi Daud menguatkan kepercayaannya kepada Tuhan, Allahnya. (I Sam 30: 6).
Kepada jemaat di Korintus, Rasul Paulus mengatakan: “Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia. (1Kor 15:58)
4. Konsistensi.
Dulu saya pernah aktif melayani, dulu saya pernah menjadi ini dan itu di gereja. Inilah kata-kata yang sering kita dengar dari kesaksian iman beberapa orang Kristen. Kita mungkin menganggap ini biasa, tetapi jika kita pikirkan lebih dalam, maka ada poin penting dalam aktifitas harian sebagai orang beriman. Kehidupan beriman dan pelayanan, bukanlah masa lalu, tetapi harus tetap kini dan disini, semakin kuat dan gigih walau tubuh melemah.
Orang yang berkomitmen kepada Kristus atau menetapkan hati kepada Kristus, akan menjalani hidup sebagai orang Kristen atau orang beriman. Komitmen kepada Kristus akan diuji dengan aktifitas harian dan realitas hidup. Aktifitas harian sebagai orang beriman yaitu, apakah ia tetap setia beribadah, berdoa, setia memberi persepuluhan, setia melayani tanpa pasang surut. Realitas hidup yaitu ketika apa yang seharusnya dilakukan oleh orang beriman diperhadapkan dengan kebutuhan, permasalahan, dan tantangan, dimana kita harus memilih diantara pilihan dengan berbagai konsekuensinya.
Kepada jemaat di Korintus, Rasul Paulus mengatakan: “Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia. (1Kor 15:58).
Dalam janji-Nya mengenai upah orang yang mengikut Dia, Tuhan Yesus memperlihatkan suatu fakta bahwa: “Tetapi banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu” (Mat. 19:30). Tuhan Yesus mengingatkan bahwa orang beriman mungkin tidak meninggalkan iman mereka, tetapi dalam pelaksanaan iman mereka kehilangan konsistensi dan akhirnya mereka menjadi terkemudian. Dulu mereka yang paling giat, sekarang mereka menjadi yang paling malas. Dulu mereka menjadi orang yang mengajak dan mengingatkan yang lain untuk setia, sekarang justru mereka yang selalu harus diingatkan dan diajak.
Rasul Paulus terus mengingatkan orang beriman untuk menjaga konsistensi hidup beriman mereka. Kepada jemaat di Tesalonika ia mengingatkan, “Dan kamu, saudara-saudara, janganlah jemu-jemu berbuat apa yang baik”. (2Tes 3:13). Kepada jemaat di Galatia Ia menghimbau, “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah” (Gal 6:9). Dua kata konsistensi yang dipergunakannya adalah “jangan jemu-jemu dan tidak menjadi lemah, atau tetap semangat”.
Kiranya kita semua akan seperti Hana dan Simeon, mencapai usia lanjut sebagai orang beriman, tetapi tetap konsisten dalam menjalani aktifitas harian dan menghadapi realitas hidup dengan penuh iman, sehingga suatu saat kita akan mengatakan perkataan Simeon ketika melihat Tuhan Yesus: “Sekarang, Tuhan, biarlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai Firman-Mu. Sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu” (Luk. 2: 29-30).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar: