Dalam diskusi yang pernah terjadi dengan beberapa jemaat, bahwa: nasip atau takdir dibedakan, bahwa takdir adalah sesuatu yang ditetapkan Allah yang tidak dapat dirubah oleh manusia, sedangkan nasib adalah sesuatu yang dapat dirubah oleh mansia.
Kata sederhana dari kedua kata ini yaitu “pilihan dan tanggung jawab manusia”, bahwa takdir adalah sesuatu yang terjadi dalam diri manusia atau jalan hidup manusia yang tidak melibatkan “kehendak bebas dan tanggung jawab manusia”.
Pertanyaan bagi kita adalah: adakah sesuatu yang terjadi dalam hidup manusia yang murni bebas dari pilihan, perbuatan dan tanggung jawab manusia? Adakah kelahiran dan kematian adalah murni ‘ketetapan Allah (takdir)”.
Satu hal yang perlu ditegaskan mengenai konsep “takdir & nasib”. Tidak mengakui konsep ini, adalah memuliakan kedaulatan manusia atas hidupnya! Sedangkan mengakui takdir dan nasib ditetapkan Allah akan jatuh pada konsep dan sikap: “apastis, fatalisme, serta pengabaian kedaulatan Allah atas segala sesuatu yang ada, serta sikap menuduh Allah sebagai sumber dari segala kebaikan dan juga kejahatan, penderitaan dan bahkan dosa”.
Bigman Sirait sebagai pengkhotbah terkenal mengatakan bahwa “takdir Allah hanya menyangkut hal-hal keselamatan, bukan praktis atau proses hidup”. Permasalah dari pendapat ini adalah” Jika Tuhan tidak menetapkan banyak hal dalam hidup kita, bagaimana kita dapat melewati pencobaan yang dirancangkan si jahat? Begitu pula dengan hukum alam dimana kita berada? Jika Allah tidak menetapkan segala sesuatu, bagaimana mungkin Ia dapat menetapkan akhir dari segala sesuatu. Jika Allah tidak menetapkan segala sesuatu didunia ini, bagaimana mungkin dunia ini dan khususnya hidup kita memiliki tujuan? Jika Allah tida menetapkan jalan hidup seseorang, bagaimana mungkin sseseorang memiliki tujuan?
Walau Alkitab tidak memiliki kata khusus untuk “takdir atau nasib”, tetapi beberapa kali penerjemahan secara kontekstual memakai kata nasib, baik besar maupun kecil: (Yesaya 14:26,27; 46:10,11; Daniel 4:35; Efesus 1:11):
- Suasana kerajaan-kerajaan di bumi. KPR. 17:26.
- Menetapkan dan meneguhkan alam ini, Mazmur 119:89-91.
- Keselamatan orang yang percaya. 1Korintus 2:7; Efesus 1:3,10,11.
- Panjangnya umur manusia, Ayub 14:5.
- Allah telah mentakdirkan manusia bebas dalam perbuatannya. Ini berarti manusia bebas berbuat baik atau jahat. Tuhan Allah tidak mentakdirkan manusia berbuat jahat, akan tetapi Tuhan mengizinkan manusia berbuat jahat. Kejahatan terjadi oleh sebab pilihan manusia yang bebas dalam kehendak dan perbuatannya. Yesaya 44:28; Efesus 2:10; Kejadian 50:20; 1Raja 12:15; Lukas 22:22; Kisah 2:23; 4:27,28; Roma 9:17; 1Petrus 2:8; Wahyu 17:17.
- Cara kita mati . Yohanes 21:19.
- Pekerjaan Kristus dan milik-Nya diteguhkan. Filipi 2:12; Wahyu 5:7.
Hal-hal apa yang ditakdirkan Allah dalam hidup manusia dan bagaimana kita menanggapi hal itu?:
1. Tuhan menetapkan segala sesuatu; atau dapat kita katakana bahwa Tuhan menakdirkan segala sesuatu:
Pandangan umum banyak orang Kristen dan juga teolog membedakan proses Allah berkarya didunia ini dan khususnya bagi manusia, bahwa:
Ø Allah metepapkan:
Ø Allah mengetahui:
Ø Allah mengijinkan:
Pandangan ini akhirnya digugat oleh kaum Calvinis, dengan beberapa pertanyaan: tidak mungkin Allah hanya mengetahui sesuatu akan terjadi dan mengijinkan sesuatu terjadi diluar ketetapan-Nya, jika demikian Allah tidak berkuasa atas segala sesuatu yang terjadi. Dan bahwa pengetahuan Allah berjalan berdasarkan ketetapan-Nya.
Bagi kaum Calvinis Allah menetapkan segala sesuatu, Bahkan ulat yang menggerek pohon dimana Yunus berteduh ditetapkan Allah. Allah juga menetapkan hasil undian. Bagi kaum Calvinis: Ketetapan menjelaskan bahwa Ia berkuasa atas segala sesuatu.
Ada predestinasi dan ada providentia Allah.
Ø Predestinasi adalah ketetapan dalam kekekalan, tetapi providentia adalah Allah yang menyatakan diri dalam pemeliharaan-Nya hari lepas hari, untuk menjamin predestinasi-Nya.
Ø Ada dua posisi kelompok reformed dalam memahami ketetapan Allah, yaitu ketetapan umum dan posisi kedua adalah ketetapan spesifik, sepele bahkan hal-hal yang nampaknya kebetulan. Sebagai contoh karena paku sepatu kuda maka kalahlah suatu pasukan dan karena satu pasukan kalah, maka kalah peranglah satu bangsa. Karena pembuluh darah setitik yang tersumbat maka tumbanglah seorang manusia diatas tempat tidur.
Harus diakui bahwa “predestinasi ganda” memiliki dalil lebih kuat dari semua dalil yang membahas ketetapan Allah, tetapi secara pribadi bagi saya, masih sulit mengakui bahwa “Allah menetapkan dosa” dan “menetapkan hari malang bagi seseorang sejak dari kekal, sebab demikian kita juga akan mengatakan bahwa sumber dosa adalah Allah. “tentu disini penulis tidak hendak menjadi tangan Usa, yang membela Allah”.
Penulis masih tetap berada pada posisi awal, bahwa “semua hal yang terjadi dan akan terjadi, diketahui oleh Allah, tetapi tidak semua hal ditetapkan Allah”. Allah memberi “kehendak bebas kepada manusia, agar ia bebas memilih (tentunya hal-hal praktis dalam hidup, atau bukan memilih Allah dan memilih keselamatan), tetapi Allah memberikan “batasan” kepada pilihan-pilihan itu, serta sebab akibat dari pilihan manusia, yang kadang semberono, lalai dan kadang salah.
Perlu diketahui bahwa Allah “tidak pernah dikatakan menetapkan hari malang, tetapi menciptakan hari malang”, mencipta, adalah fana, sementara menetapkan dilakukan-Nya dalam kekekalan.
Yesaya 45:6-7, "supaya orang tahu dari terbitnya matahari sampai terbenamnya, bahwa tidak ada yang lain di luar Aku. Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain, yang menjadikan terang dan menciptakan gelap, yang menjadikan nasib mujur dan menciptakan nasib malang; Akulah TUHAN yang membuat semuanya ini."
2. Manusia tidak mengetahu ketetapan Allah!
Poin pertama khotbah Minggu lalu yaitu “Allah menetapkan (mempredestinasikan) segala sesuatu dalam kekekalan”. Dalam kekekalan tidak ada waktu dan tidak ada proses, oleh karena itu: apapun yang telah ditetapkan Allah “pasti akan terjadi dan tidak mungkin gagal”.
Permasalah utama yaitu manusia adalah mahluk fana, ia hanya mengetahui apa yang telah lalu, dan masa depan hanyalah harapan. Khusus mengenai masa depan yang ditetapkan Allah baginya, tidak diketahuinya.
Ada dua sikap terhadap “keterbatasan pengetahuan akan ketetapan Allah dalam hidup manusia”, ada yang bersikap “fatalis” dan ada yang menanggapinya dengan ucapan syukur, bahwa karena Allah menetapkan sesuatu dalam hidupnya, maka ia memiliki tujuan.
Karena Allah mempredestinasikan hidupnya, maka Allah memiliki “providentia (pemeliharaan)” terhadap hidupnya, sebab providensi Allah berjalan sesuai dengan “predestinasi-Nya (ketetapan Allah)”, contoh Allah hanya akan menyatakan providensi-Nya terhadap keselamatan orang beriman, ketika Ia telah mempredestinasikannya terlebih dahulu.
Amsal mengatakan: kemuliaan Allah ialah merahasiakan sesuatu, tetapi kemuliaan raja-raja ialah menyelidiki sesuatu. (Amsal. 25: 2). Manusia hanya akan memahami hal-hal yang ditetapkan Allah baginya, jika hal itu telah dilaluinya atau telah terjadi. Bahkan ada hal-hal yang tidak diketahui manusia sampai akhirnya, seperti kematian. Justru kadang Allah memelihara kita dalam damai sejahtera didalam ketidaktahuan kita, hal ini dapat kita saksikan dalam penderitaan Yesus di Getsemani karena mengetahui kematian-Nya dan cara bagaimana Ia akan mati.
Demikian pula dengan “keberuntungan atau kemalangan”, adalah lebih baik jika kita tidak mengetahuinya dari awal, agar manusia tetap semangat dan terus memiliki pengharapan. Demikian pulla agar manusia memiliki rencah hati.
Kaya atau miskin bukan yang utama, tetapi pengharapan dan semangat untuk meraihnya adalah lebih penting. Umur panjang atau umur pendek bukan hal utama, tetapi tetap berusaha dalam damai sejahtera itulah yang penting.
Orang beriman tidak akan menghabiskan hidupnya untuk mengetahui apakah Allah menetapkan nasib malang atau mujur baginya. Rasul Paulus mengatakan: “itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, TETAPI aku tidak malu; KARENA aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga hari Tuhan (2 Tim. 1: 12).
Kita berhadapan dengan rahasia pemilihan Allah yang sulit dimengerti oleh akal manusia yang terbatas. Paulus mengakui hal ini dalam 1 Korintus 13:12, "Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar...."
Dalam Perjanjian Baru hal ini diberikan bukan sebagai teka-teki untuk mengusik pikiran, melainkan sebagai keajaiban yang patut membangkitkan puji-pujian; bukan sebagai unsur ilahi yang harus diciutkan, melainkan jaminan bahwa hidup manusia ada dalam tangan-Nya yang penuh kuasa, bukannya dalam genggaman nasib; dan tidak pernah sebagai dalih untuk kesembronoan dalam perkara-perkara rohani, melainkan selalu sebagai peringatan bahwa orang Kristen bertanggung jawab untuk meneguhkan panggilan dan pilihannya dan selalu hidup di dalam iman.
3. Nasib berada diantara “ketetapan dan pilihan”.
Kalau Allah telah menetapkan, dapatkah pilihan manusia menggagalkannya? Allah memang memberi kehendak bebas bagi mansia, tetapi kehendak bebas itu telah jatuh didalam dosa.
Ada dua dunia Yaitu dunia fana dan kekal. Dalam dua dunia itu ada kehendak bebas yaitu kehendak bebas yang diberikan Allah kepada para malaikat dan kepada manusia, kehendak bebas malaikat yaitu terjadi dalam dunia roh sebelum penciptaan semesta dan kehendak bebas yang diberikan kepada manusia dalam penciptaan, dimana kehendak bebas ini sama-sama terjatuh dalam dosa, tetapi kejatuhan malaikat yang dimasukkan Allah dalam kekal tidak dapat berubah, oleh karena itu tidak ada penebusan malaikat, tetapi manusia ditebus, selain bahwa manusia adalah peta teladan Allah dan sebagai mahkota ciptaan dimana seluruh ciptaan tergantung padanya, juga bahwa dalam dunia fana ini segala sesuatu dapat dirubah.
Nasib atau takdir manusia berada diantara “ketetapan Allah dan pilihan manusia”. Ketika Don Ricardson ketika memberitakan Yesus yang tersalib dan mati bagi orang Papua, dimana diceritakan bahwa Yudas Iskaryot sebagai orang yang menyerahkan-Nya untuk disalib, maka orang Papua akhirnya memuji Yudas, sebab konsep mereka Yudas adalah pemenang.
Dalam perkataan Tuhan Yesus mengenai Yudas Iskaryot: “Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia (apa yang telah ditetapkan Allah), akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih bagi bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan” (Mat. 26: 24), kita memahami bahwa: apa yang dilakukan Yudas adalah ketetapan Allah, tetapi pada sisi lain adalah pilihan kehendak bebas Yudas sendiri dan Yudas bertanggung jawab atas apa yang dilakukan-Nya.
Ketetapan Allah dan kehendak bebas manusia untuk memilih tindakannya nampak seperti dua hal yang bertentangan dan tidak mungkin. Bagaimana mungkin Yudas akan bertanggung jawab atas tindakannya menjual Tuhan Yesus, sementara hal itu telah ditetapkan sebelumnya, kita sulit menerima dan memahami hal ini, Pada posisi ini, manusia harus mengakui keterbatasannya dalam memahami rahasia Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar: