Tanda cinta dalam dunia modern dilambangkan hati,
tetapi sebenarnya itu adalah gambar jantung. Gambar jantung sebagai lambang
cinta dipergunakan di dunia Barat sekitar abad 16, dan popular sekitar tahun
70an hingga saat ini.
Mumi Mesir mengungkapkan kepada kita sekalian
di zaman ini, bahwa bukan sekedar teknik mengawetkan jenazah manusia, tetapi
ada unsur agama atau teologis dan budaya yang menyertainya.
Proses mengawetkan mumi adalah dengan cara
pembalseman memakai ramuan khusus, dan pada akhirnya memberikan peti yang telah
diberi mantera. Dalam proses pembalseman itu, semua isi perut dikeluarkan, dan
hanya ada satu organ yang ditinggalkan yaitu, “jantung”, “Jantung adalah tempat
bersemayamnya roh. Organ lain tidak dianggap penting maka dari itu harus
dikeluarkan,”
Hati adalah organ tubuh yang paling banyak di
sebut dalam sastra, begitu pula dengan Alkitab, bahkan hukum pertama dan
terutama dalam Alkitab adalah “mengasihi Allah dengan segenap hati”. Apa pentingnya
hati dalam hidup manusia secara rohani?
1.
Dengan
hati kita merespon Allah.
Hukum pertama dan terutama yang diucapkan
Yesus, hati yaitu “kardia”, sebenarnya dapat diterjemahkan “hati, jantung, atau
kandungan”. Jiwa yaitu “psuche” dapat diterjemahkan: batin, kehidupan
(jasmani), makhluk hidup, manusia, jiwa, nyawa. Akal budi yaitu “dianoia” dapat
diterjemahkan: pengertian, hati. akal
budi.
Intinya bahwa penggunaan kata “hati” tidaklah
menunjuk pada hati secara fisik, tetapi mau mengungkapkan sisi rohani dan
psikologis dalam diri manusia, yaitu cinta, perasaan dan pemahaman manusia. Dengan
semua unsur dan dimensi ini manusia dapat merespon Allahnya, dan juga sekaligus
dengan ini semua manusia harus bertanggung jawab dan dapat dihukum.
Perintah utama dan terutama adalah mengasihi
Allah, dan kita tidak dapat mengasihi secara utuh dan benar, hanya dengan
mengandalkan keuatan pikiran kita, kita mengasihi Allah dengan “hati dan
perasaan kita”.
Dalam khotbhan di bukit Tuhan Yesus
mengatakan: “berbahagialah orang yang suci hatinya, sebab mereka akan melihat
Allah”. (Mat. 5:8).
2.
Dengan
hati kita mengenal diri kita sendiri.
Satu pertanyaan mendasar bagi ilmu sosial,
psikologi, yaitu “siapakah aku”? Kita selalu mendengar, jika tidak selalu,
tentu pernah mendengar umpatan orang, “tidak tahu diri”. Apa maksud dari
umpatan ini? mengapa umpatan ini begitu popular di pakai? Apakah memang orang
yang di umpat “tidak tahu siapa dirinya yg sebenarnya? ataukah “lupa diri’?
ataukah tidak bersikap sesuai dengan setatusnya?
Dalam kebiasaan Jawa, ketika ada seseorang
yang marah dan mengamuk, seseorang yang kesurupan, atau seseorang yang depresi
karena sedih, maka satu kata yang sering dilontarkan oleh orang jawa pada
umumnya yaitu “eling” dan jika ia adalah Jawa Islam, maka yg dinasehatkan
adalah “nyebut”.
Ada satu lagu Jawa rohani Kristen yaitu “eling-eling”.
Suatu nyanyian yang mengingatkan untuk mengingat diri sebagai manusia, betapa
fananya manusia, lemahnya manusia.
Pertanyaan kedua adalah “dari mana engkau
berasal”….? Asal menunjuk pada tiga hal utama, yaitu: secara ontology yaitu
“fisik”, non fisik, tempat dengan segala keberadaannya yaitu etnis, ras,
teritori, budaya, dll.
Secara ontology fisik, kita berasal dari
tanah, oleh karena itu kita akan kembali ke tanah. Pada sisi lain, manusia juga
memiliki unsur atau dimensi rohani yang sulit sekali kita pahami. Manusia telah
berupaya untuk mempelajari dimensi ini, tetapi sampai saat ini, dimensi ini
tidak akan pernah dipahami secara utuh.
Kedua dimensi asal manusia ini telah berdosa
dan pada akhirnya kita hanya menyaksikan sesuatu yang menyedihkan dalam diri
manusia, bahkan Musa dalam Mazmur mengatakan: Masa hidup kami tujuh puluh
tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah
kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang
lenyap. (90:11).
Dari semua yg negative itu, satu kabr baik
dan possitif yang diberitakan oleh Alkitab bagi kita, khususnya oleh Yohanes
sang penatua bahwa: “Demikianlah kita ketahui, bahwa
kita berasal dari kebenaran. Demikian pula kita boleh menenangkan hati kita
di hadapan Allah”. (I Yoh. 3: 19).
3.
Hati
adalah indicator kehidupan rohani.
Hati atau jantung secara fisik adalah organ
dasar yang sangat menentukan proses kehidupan secara fisik, demikian pula
secara rohani, hati sangat menentukan kehidupan.
Penulis
Amsal mengatakan: “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari
situlah terpancar kehidupan. (Ams 4:23).
Jaman Nuh, ketika Tuhan datang ke bumi,
ternyata Allah begitu menyesal karena “hati manusia jahat”, “Ketika dilihat
TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan
hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata”, (Kej 6:5). Jadi bukan karena
jelek wajah mereka, atau karena bodoh otak mereka, tetapi karena hati mereka
yang jahat, itulah yg membuat manusia dibinasakan.
4.
Hati
adalah pusat kebahagiaan manusia.
Kita sangat akrab dengan istilah “sakit hati,
jatuh hati, patah hati, hati-hati, buta hati,” demikian istilah-istilah yang
dipakai menunjuk batapa penting hati, atau kesadaaran manusia, atau perasaan
manusia dalam merespon dunia, merespon sesamanya, termaksud menyingkapi setiap
keadaan yang disekitarnya.
Kata seorang jemaat kepadaku, bahwa uang
hanya alat, manusia cari uang, bukan demi uang, tetapi agar bahagia? Ukuran
bahagia itu apa? Berapa jumlah minimal uang yang diperlukan untuk bahagia?
Siatuasi apa yang bagaimana yang menjadi dasar minim bagi manusia untuk
bahagia?
Hati mansia adalah ukuran atau indicator
kebahagiaan manusia! Hati yang senang dan sukacita, hati yang rela, hati yang
tabah, hati yang merdeka, hati yang bebas dan tidak tertekan, intinya, keadaan
hati manusialah yang menentukan apakah ia berbahagia atau tidak.
Hati yang bahagia adalah hati yang tenang,
yaitu hati yang mengetahui dari mana asalnya dan hati yang mengetahui dengan pasti
kemana ia akan berakhir, sebagaimana pada ayat 19 mengatakan: “Demikianlah
kita ketahui, bahwa kita berasal dari kebenaran. Demikian pula kita boleh menenangkan
hati kita di hadapan Allah”. (I Yoh. 3: 19).
5.
Hati
juga dapat membunuh rohani seseorang.
Kita mengenal ada berbagai macam penyakit hati,
tiantaranya adalah sakit hati, iri hati, tetapi yang lebih berbahaya dan dapat
membunuh kehidupan rohani seseorang adalah “hati yang menuduh”. (I Yoh.3:20-21)
Iblis adalah penuduh atau pendakwa pada
mulanya, dan ia mendakwa manusia dalam hati mereka, bahwa dosa mereka tidak
terampuni, bahwa mereka tidak akan pernah layak dihadapan Allah. Inilah yang
menjadikan banyak orang percaya menjadi tertuduh oleh hati mereka sendiri,
sehingga justru menjauhi Allah, seperti yang dilakukan St. Petrus.
Perasaan tertuduh menjauhkan orang percaya
dari Allah, tidak yakin untuk berdoa, tidak yakin untuk bersaksi, merasa
sia-sia beribadah. Kita selain memang adalah orang berdosa, berbuat dosa,
tetapi kita diampuni dan tidak main-main dengan dosa, apa lagi hidup dalam
dosa. Merasa tertuduh dan menjauhkan diri dari Allah, bukan menjadikan kita
semakin baik, tetapi justru menjadikan diri semakin buruk dan bersandar pada diri
kita sendiri. Kita menjadi baik karena kita diampuni dan terus belajar
melakukan kebaikan, doa, ibadah, kesaksian.
Mengapa kita berasal dari kebenaran dan
bagaimana kita mengetahui hal itu? Karena Allah melahirbarukan kita oleh
Roh-Nya, kita adalah manusia berdosa, jika kita mengatakan bahwa kita tidak
berdosa maka bukan saja kebearan tidak ada didalam diri kita, tetapi juga
mengatakan bahwa Allah adalah pendusta. Dalam Yesus Kristus kita memperoleh
pengampunan dosa, Ia adalah pengantara kita, Ia mengasihi kita dan kitapun
mengasihi Dia dan hidup dalam kasih sebagai tanda bahwa kita selalu berada
dalam kasih. Karena iman kepada Yesus Kristus maka kita adalah anak-anak Allah.
Kebenaran-kebenaran, fakta-fakta diatas, yang
diketahui, dipahami, dipercayai. Pengetahuan itu adalah pengetahuan iman,
pengetahuan yang menjadi kesadaran stetatus, kesadaran setatus ini berimplikasi
pada sikap dan perbuat keseharian.
Pernyataan ini adalah suatu keyakinan dalam
hati, yang dalam kenyataannya bahwa ‘hati itu’ sering menuduh diri orang yang
percaya, itulah sebabnya mengapa ayat 20, mengatakan “sebab jika kita dituduh
olehnya”. Allah lebih besar dari hati kita. Demiian pula kita boleh menenangkan
hati kita di hadapan Allah. (I Yoh. 3: 19). “jikalau hati kita tidak menuduh
kita, maka kita mempunyai keberanian percaya untuk mendekati Allah”.
Sekali lagi, jagalah hatimu dengan
segala kewaspadaan, sadarilah dengan hatimu bahwa engkau sekalian berasal dari
kebenaran, biarlah pengetahuan ini menuntun sikap kita untuk hidup dalam
ketaatan kepada Allah, dan milikilah hidup yang berbahagia, sebab engaku telah
mengetahui dari mana asalmu dan kemana engkau akan berakhir. Hanya di dalam
Tuhan jiwamu akan tenang dan Sentosa.