Telah menjadi pemandangan umum disekitar kita, suami isteri tidak sepakat bahkan terpisah. Anak-anak melawan orang tua mereka, saudara saling mengabaikan dan sibuk dengan diri sendiri. tetangga saling mengabaikan, keluarga besar saling gibah, masyarakat semakin mudah terfragmentasi. Dan yang lebih menyedihkan, gereja telah menjadi salah satu lembaga yang sangat mudah terpecah, jika tidak terpecah maka didalamnya terdiri dari kelompok kelompok yang tidak sepakat.
Saat ini kesatuan, sepakat, sehati sepikir, keutuhan, adalah hal yang sangat langka dan sulit diwujudkan. Semua itu menjadi kata-kata kosong semata.
Dengan segala kendala dan kesulitan, kita bersyukur karena bulan ini adalah bulan gereja kita merayakan ulang tahun. Kesempatan kali ini kita akan merenungkan satu hal yang penting sebagai gereja yaitu “persekutuan” dan tidak ada persekutuan tanpa “kesatuan, kesepakkatan, sehati sepikir”.
Kita sekalian dipanggil Allah dan dipeliharakan Allah dalam gereja-Nya dan dalam keluarga dimana Allah menitipkan kita, bahkan dalam bangsa dimana kita menjadi warganya, kita juga dipanggil untuk menjaga kesatuan lembaga-lembaga itu. Tetapi bagaimanakah cara kita memelihara kesatuan itu? Alkitab memberi jalan terbaik bagi kita: “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan" (Kolose 3:14).
Mengapa kasih yang dijadikan pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan?
1. Kasih adalah nilai dan hukum tertinggi dan terutama!
Kata pepatah: “The bird of the same feater flock together” (burung yang sama bulunya, berkumpul di dahan yang sama). ternyata tidak jauh berbeda dengan manusia, sampai era modern ini RAS masih menjadi unsur perpecahan diantara manusia. Intinya manusia, dengan segala kemanusiaannya, sulit bersatu.
Menara Babel adalah suatu tugu yang memperlihatkan kesatuan mansia, tetapi persatuan itu adalah persatuan yang melawan Allah. Pada akhirnya sejarah memperlihatkan bangkitnya raja-raja dan kerajaan yang mengupayakan persatuan manusia, tetapi dilakukan dengan kekuatan militer yang justru membawa kehancuran bagi manusia lainnya.
Yang lebih menyedihkan dari semua adalah: Rasis akhirnya menjadi dogma bangsa bahkan agama. Israel dengan keistimewaan pilihan mereka oleh Allah, mengangap bangsa-bangsa lain sebagai kafir dan rendah. NAZI menjadikan perbedaan Ras untuk membantai jutaan Ras Semitis (khususnya Yahudi), di Afrika Selatan berkembang politik Apartheid, dan baru-baru ini di Amerika yang bangga dengan demokrasi mereka, kita masih menyaksikan sikap rasis terhadap Ras Asia dan kulit hita. Iman Kristen adalah iman yang keras menentang sikap rasis (Kol. 3: 11).
Kasih menjadi hukum Allah yang terutama dan pertama, baik dalam PL dan PB (Ul. 6:5; Mat. 22:37). Kasih adalah atribut dan sifat Allah. Ketika para orang Farisi bertanya kepada Yesus mengenai hukum yang terutama, Tuhan Yesus menjawab “kasih”, dan mengatakan bahwa “tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini (Mrk. 12: 31). Disisi lain Rasul Paulus mengakhiri penjelasannya mengenai buah Roh, dimana kasih berada pada posisi utama dengan kata: “tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu” (Gal. 5: 23).
Pemberitaan injil mungkin akan mendapat penolakkan dimana-mana, tetapi tidak ada orang, selain yang ditentukan untuk binasa, yang menolak kasih Kristus. RAS manusia berbeda-beda, budaya, bahasa, kebangsaan, sifat dan karakter berbeda-beda, dengan perbedaan ini manusia selalu saling menolak. Tetapi kasih adalah bahasa yang dapat dipahami oleh seluruh manusia dan semua manusia menginginkan hal itu.
Anak-anak mungkin susah memahami nasehat dan perkataan kita orang tua mereka, suami-isteri mungkin susah saling memahami, sesama anggota jemaat sulit untuk sehati sepikir dan sepakat dalam tujuan, tetapi bahasa kasih akan selalu terpahami dan diterima.
2. Kasih itu menutupi banyak dosa!
Setiap manusia berdosa, setiap manusia memiliki kelemahan masing-masing, setiap manusia unik dan berbeda satu dengan yang lainnya, tetapi mata manusia adalah ironis, kata Tuhan Yesus: selumbar di mata saudaramu terlihat jelas, sementara balok dalam matamu sendiri tidak terlihat (Mat.7: 3-5). Pikiran manusiapun tidak kurang ironis, ia lebih terbiasa mengingat kenangan buruk dari pada kenangan manis.
Dalam hidup bersama, “sepuluh kesamaan, kurang kokoh mengikat persatuan, tetapi satu perbedaan, efektif menghancurkan dan menceraiberaikan”. Hal inilah yang menyebabkan kita selalu menyaksikan kelompok terpecah, bangsa terpecah, keluarga tercerai, saudara bermusuhan. Dan yang lebih menyedihkan, kelompok yang sangat sulit disatukan justru kelompok yang mengatasnamakan agama atau Tuhan, mengapa? Karena kesalahan-kesalahan tersebut.
Dosa dan kesalahan sangat dekat manusia, lalu, bagaimanakah manusia dapat Bersatu? bagaimankah keluarga tetap utuh? Bagaimanakah gereja tetap kokoh?
Rasul Yohanes mengatakan: “tetapi yang terutama; kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa” (I Ptr. 4: 8).
Karena kasih, Allah memberikan Anak-Nya sebagai penebusan dosa kita. Hanya karena kasih seseorang dapat mengampuni kesalahan sesamanya. Hanya karena kasih yang tulus, suami-isteri, anak-anak dan orang tua, anggota jemaat dapat saling mengampuni.
Suatu saat seorang ayah membeli mobil baru yang sudah lama diimpikannya untuk menghargai hasil usahanya, tetapi suatu ketika anaknya mengambil paku dan menggambar ibu bapanya, serta dirinya dengan kata-kata I Love You di mobil baru tersebut. Denggan bangga anak balita tersebut membangunkan ayahnya untuk menunjukkan karyanya tersebut. Tentu sang ayah kaget, tetapi ia tahu bahwa itu adalah ekspresi kasih anaknya kepada keluarga dan ayahnya, jadi walau dengan sedih ia tetap bangga mengendarai mobil tersebut.
Kasih manusia tidaklah utuh. Kasih manusia berjalan bersama-sama dengan dosa dan kelemahannya. Kita menyatakan kasih kita bersama dengan dosa dan kelemahan kita, demikian pula kita harus menyadari bahwa menerima kasih seseorang yang mengasihi kita dengan dosa dan kelemahannya. Kasih itu bukan hanya mempersatukan, tetapi juga menyempurnakan: “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Kol. 3: 14).
Rasul Paulus mendefenisikan: kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala seesuatu. (I Kor. 13: 4-7).
3. Kasih sebagai syarat pelayanan.
Dengan kasih-Nya Tuhan Yesus mempersatukan semuanya, bahkan Yudas yang dikatahuinya sejak semula akan menyerahkan-Nya berupaya dirangkul-Nya dalam kasih, bahkan dititik akhir ia tetap merangkulnya, tetapi dalam rangkulan itu, Yudas memberi ciuman untuk menyerahkan-Nya.
Sebelum Tuhan Yesus naik ke sorga, satu hal penting yang dilakukan-Nya adalah memilih seseorang yang akan menggembalakan domba-domba yang dikasihi-Nya, dan secara khusus memilih yang akan memimpin para murid. Tuhan Yesus memilih Rasul Petrus untuk memikul tanggung jawab itu. Hanya satu hal yang disaratkan Tuhan Yesus yaitu “Apakah engkau mengasihi-Ku? ”, dan ia mengulang hal itu sebanyak tiga kali sebagai penekanan bahwa pentinya kasih itu.
Mengapa Tuhan Yesus menjadikan kasih sebagai syarat terpenting dalam memilih seorang gembala bagi domba-domba-Nya? hal itu tentu berdasarkan hal yang telah dilakukan-Nya yaitu “menyerahkan diri-Nya, bahkan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya” (Yoh. 10:11; 15: 13).
Kasih mempersatukan, karena kasih menjadikan seseorang memberikan dirinya bagi orang yang dikasihinya, bagi keluarganya, bagi jemaat yang dilayaninya, bagi gereja dimana ia bersekutu.
Memberi diri adalah mengorbankan segala hal bagi pribadi dan kelompok yang dikasihinya. Mengorbankan kenyamanan, keuntungan diri, harta, pikiran perasaan. Tuhan Yesus bahkan memberikan nyawa-Nya untuk kita. Rasul Petrus yang tadinya adalah orang yang menyangkal Tuhan Yesus demi keselamatan nyawanya, tetapi pada akhirnya sejarah gereja mencatat kata “quo vadis domine”, ketika ia akan meninggalkan kota Roma atas penganiayaan yang dilakukan Nero, pada akhirnya ia balik kembali ke Roma bagi jemaat, sampai akhirnya ia mati di salib terbalik.
Kiranya kasih Kristus mempersatukan kita! Mempersatukkan keluarga kita, mempersatukan gereja kita, sehingga kita kokoh, bersatu, kuat, agar dunia tau bahwa kita adalah murid-murid Yesus karena kita satu dan saling mengasihi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar: