Sabtu, 11 Juli 2020

Menyingkapi Pencobaan dan Ujian




Perlukah orang percayamengetahui bahwa derita dan sengsara yang dialaminya adalah pencobaan iblis ataukah ujian dari Allah?
Percakapan Ayub dengan keempat sahabatnya di sepanjang derita dan sengsara yang dialaminya, yaitu upaya menyingkapi apakah hal itu adalah ujian ataukah pencobaan iblis, dimana para sahabat menuduh bahwa semua sengsara itu karena dosa Ayub, dan derita yang dialami Ayub adalah hukuman dari Allah.
Percakapan Ayub dengan para sahabatnya, mungkin juga sering terjadi disepanjang sejarah kehidupan beriman orang percaya. Ada kesulitan memahami setiap derita dan sengsara.
Dalam kisah Ayub, kesulitan memahami semua ini, dikarenakan pandangan  umum manusia bergama bahwa, orang saleh, orang beriman, orang percaya, tidak akan mengalami semua kesulitan, derita, dan sengsara. Ketika semua itu menimpa Ayub yang dikenal sebagai orang saleh pada jamannya, apa yang menjadi pandangan umum orang beragama, menjadi runtuh.
Pondasi iman Kristen adalah Kristus yang kita kenal lewat kesaksian para Rasul. Para Rasul adalah orang-orang pilihan Kristus sendiri, dan mereka adalah orang-orang yang sangat dikasihi, tetapi kenyataan bahwa hanya Yohanes yang mati layaknya orang normal pada umumnya, dan sisanya mati dalam sengsara. Apakah derita dan sengsara yang dialami oleh para Rasul hingga kematian mereka, adalah ujian Allah ataukah pencobaan ibllis? Apakah Allah menguji orang beriman hinga kematian?
Bagaimana kita dapat membedakan ujian dan pencobaan?
1.    Dimanakah posisi Allah?
Dalam bukunya “The Corange to be Protestant: Truft-lovers, marketers, and Emegrants in the Postmodern World”, David F. Wells membahas satu point mengenai Allah sebagai “Pusat yang Hilang” di dunia postmodern, yaitu dunia dimana kita berada saat ini. Kaum Postmodern mengatakan bahwa alam semesta ini tidak memiliki pusat. Hal ini bertentangan dengan pandangan Alkitab bahwa “satu-satunya alasan yang menjadikan kehidupan memiliki harapan, ialah karena dunia memiliki pusat yaitu Allah” (Rom. 11: 36).
Budaya, situasi dan kondisi di dunia ini terus berubah, tetapi orang percaya harus memposisikan Allah pada posisi yang tepat dalam hidup mereka. Posisi Allah dalam hidup seseorang yang akan menentukan bagaimana ia menyingkapi hal-hal yang terjadi dalam hidupnya. 
Mengatakan dunia ini kosong, menjadikan hidup kosong, mengatakan dunia ini tidak memiliki pusat, menjadikan hidup tidak memiliki arah dan pengharapan.
Dimanakah posisi Allah? apakah Allah tetap menjadi pusat kehidupan kita? termaksud ketika kesulitan, penderitaan & sengsara terjadi dalam hidup kita. Ketika Ayub mengatakan: “dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang pula aku akan kembali kedalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan” (Ayub. 1: 21). Ayub memposisikan Allah sebagai sumber segala sesuatu dalam hidupnya dan sebagai pusat hidupnya.
Kisah di Getsemani menunjukkan kepada kita bagaimana Tuhan Yesus menyingkapi sengsara. Tuhan Yesus tidak menghendaki sengsara, Tuhan Yesus takut melewati sengsara itu, Tuhan Yesus memohon kepada Bapa untuk melaukan Dia dari sengsara, tetapi jika Allah menghendaki-Nya untuk tujuan mulia Allah, maka Ia menerima-Nya dengan taat.  “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, malainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk. 22: 42). Allah Bapa dan rencana Agung-Nya  adalah pusat hidup Yesus. Tuhan Yesus mengatakan: “makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh. 4: 34).
Pencobaan dan ujian dapat disingkapi berdasarkan dimana posisi Allah dalam hidup orang yang mengalaminya. Ketika sengsara itu datang dan orang yang mengalaminya mulai, mengabaikan Firman Allah, mulai menuduh Allah berlaku tidak adil, ketika seseorang mulai mengatakan bahwa Allah tidak peduli dengan apa yang dialaminya, maka kemudian ia akan membelakangi Allah dan mencari  pertolongan diluar Allah.
Saul adalah contoh yang diberikan Alkitab mengenai seseorang yang membelakangi Allah ketika menghadapi kesulitan dan penderitaan. Pada mulanya Saul mengabaikan Firman Allah dan ketetapan Allah, bahwa hanya Lewi yang memiliki kewenangan dari Allah untuk mempersembahkan korban.(I Sam. 13: 1-22), pada akhirnya Saul justru mencari pertolongan kepada petenung wanita (I Sam 28: 1-25). Itulah sebabnya Roh Allah meninggalkan dia dan membiarkannya menyelesaikan permasalahannya sendiri, hingga ia terbunuh di mendan perang dan tahta tidak jatuh pada anak-anaknya, tetapi kepada Daud.
Daud adalah orang menjadikan Allah sebagai pusat hidupnya, termaksud ketika sengsara dan masa-masa terjepit sekalipun, ia tetap menempatkan Allah sebagai sentral hidupnya.
Ketika Daud dikejar-kejar Saul dan harus berlindung pada Akhis orang Filistin, orang Amalek menyerang dan menawan seluruh anak dan istri Daud dan pengikutnya, ketika mereka sedang tidak berada di tempat. Daud dan pengikutnya menangis, dan Daud sangat terjepit karena semua pengikutnya mengatakan akan melempari dia dengan batu (I Sam. 30:6), tetapi Daud tetap bertanya kepada Allah apa yang harus dilakukannya.
Jika Allah sudah tidak menjadi sentral dalam hidup orang yang mengalami derita dan sengsara, maka jelas apa yang dialaminya pasti akan menjadi pencobaan yang meruntuhkan dan menjatuhkan dia.

2.    Bagaimana kita menyingkapinya. 

Dari kisah Ayub kita saksikan, bahwa ujian dan pencobaan itu kadang terjadi dalam satu perkara. Kita menolak bahwa Allah bekerja sama dengan Iblis, yang ada adalah: Allah tetap mengontrol segala sesuatu, termaksud apa yang dikerjakan Si Iblis. Allah sedang memperlihatkan “iman, anugerah-Nya, lebih besar dari pada kuasa penghancuran yang dinyatakan dalam penderitaan yang sedang dikerjakan Iblis”.
Apa yang terjadi dalam kehidupan Ayub adalah rencana iblis yang diijinkan Allah, tetapi bagaimana Ayub menyingkapi sengsaranya, menjadikan pencobaan itu menjadi ujian imannya.
Bagaimana kita memahami kisah Ayub? Pada pasal 1 dikisahkan percakapan Iblis dan Allah. Banyak orang memahami kisah kehidupan Ayub seakan-akan menjadi ladang pertaruhan Iblis dan Allah. Ini adalah pandangan yang sesat. Allah tidak mungkin akan menjadikan kehidupan orang-orang yang dikasihi-Nya sebagai taruhan. Penulis akan memberikan suatu drama untuk memahami kisah Ayub:
Kita mengandaikan Allah bagaikan seorang tuan kaya raya yang memiliki harta yang dibanggakan, yaitu logam mulia atau emas dan batu-batu mulia. Tuan yang kaya raya itu sangat banngga dan menyayangi hartanya tersebut. Suatu saat datanglah seorang pencemooh dan mengatakan bahwa logam mulia yang dimiliki oleh tuan yang kaya raya itu sebagai emas palsu dan batu mulianya hanya batu biasa dan batu obsidian.
Apa yang akan saudara lakukan jika anda yang memiliki batu mulia dan logam mulia yang anda anggap sebagai kekayaan, tetapi kemudian seseorang mengatakan sebagai logam biasa dan batu biasa? Tentunya adalah mengijinkan batu mulia dan logam mulia anda di uji. Batu mulia akan diuji tingkat kekerasannya, tetapi bukan dengan palu yang menghancurkannya. Demikian juga logam mulia hanya bisa di uji kemuliaannya dengan api.
Bagi Allah, orang beriman dan orang saleh adalah seperti logam mulia dan permata mulia, mereka dibanggakan, dikasihi, dan ditaruh secara khusus dalam hati Allah. Itulah sebabnya mengapa baju rompi ada tatakan batu mulia berjumlah 12, dimana setiap batu mulia itu melambangkan setiap suku, mereka harus ditatah di dada para imam yang dekat tempat hati, sebagai lambang hati Allah bagi Israel. 
Dalam kisah Ayub; Allah membanggakan Ayub dan bertanya kepada Iblis: “apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorang pun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan” (Ayub.1: 8). Demikianlah kita memahami kisah Ayub, dimana posisi Allah, dimana posisi Iblis dan Ayub.
Bagaimana Ayub menyingkapi sengsaranya? Tentu bahwa pengetahuan Ayub terbatas; tetapi pendangan teologi Ayub adalah poin penting bagaimana ia menyingkapi sengsaranya.
Ketika sengsara itu datang, Ayub mengoyakkan jubahnya dan menaruh abu pada kepalanya sebagai tanda duka yang mendalam dan berkata: “dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya: Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan” (Ayub. 1: 21).
Ayub mengakui bahwa semua yang ada dalam hidupnya, termaksud hidupnya itu sendiri, adalah anugerah Allah. Oleh karena itu, Allah berhak atas apapun dalam hidupnya dan Allah tidak pernah salah ketika mengambil apapun dalam hidupnya. Ketika sengsara diijinkan Allah terjadi pun, Allah tidak pernah salah. Pandangan teologis Ayub adalah sederhana, jujur dan logis.
Jika setiap orang percaya memiliki pandangan teologi seperti Ayub, maka setiap orang percaya akan mengikuti Tuhan dalam pujian syukur dalam suka duka, atau mengucap syukur dalam segala hal, termaksud tetap mengucap syukur dimasa sengsara. 
Jika pencobaan dari Iblis datang, dan sebagai orang beriman kita menyingkapinya dengan iman dan bersama Allah, maka pencobaan itu telah menjadi ujian iman, yang justru akan memurnikan iman dan memuliakan hidup kita. Tujuan Iblis yang membuat hidup kita sengsara tidak akan pernah tercapai, tetapi dengan iman kita akan berkata: “maut dimana sengatmu”.

3.    Apa Dampak Sengsara  Kita Bagi Orang Beriman Lainnya? 

Ujian iman dari Allah adalah hal penting dalam iman, oleh karena itu, tidak mungkin siatuasi ini tanpa makna, tanpa pengertian dan hanya menyisakkan penderitaan, sakit dan sengsara semata. Ada nilai besar dibanding dengan dengan semua derita itu. Rasul Paulus mengatakan: “sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuiaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Rom. 8: 18).
Rencana Allah kadang sulit dipahami, tetapi bukan tidak dapat dipahami. Tak ada seorangpun orang beriman yang pernah melihat sorga, tetapi bukan berarti orang percaya tidak memahami sorga. Demikian pula dengan keselamatan kita, walau belum genap terjadi, tetapi pasti.
Allah tidak akan mengijinkan sesuatu hal besar terjadi dalam kehidupan orang percaya tanpa dipahami maksud dan tujuannya. Derita dan sengsara yang terjadi dalam ujian iman, pasti dapat dipahami oleh orang beriman yang mengalaminya, baik secara Alkitabiah maupun secara pribadi (I Ptr. 2; 19).
Walau ternyata pikiran para sahabat Ayub salah dalam memahami sengsara yang dialami Ayub, bahwa semua sengsara itu terjadi sebagai hukuman Allah atas kesalahan Ayub, tetapi ada maksud utama dari sengsara itu yang dipahami oleh mereka yaitu: Allah tidak pernah salah, agar Ayub merendahkan diri dihadapan Allah.
Mengapa para murid tidak mundur dan tercerai-berai ketika Tuhan Yesus telah mati? Gamaliel menasehati mahkama agama yang menyidangkan para Rasul setelah Yesus mati: “..janganlah bertindak kepada orang-orang ini. biarkanlah mereka, sebab jika maksud dan perbuatan mereka berasal dari manusia, tentu akan lenyap, tetapi kalau berasal dari Allah, kamu tidak akan dapat melenyapkan orang-orang ini; mungkin ternyata jika nanti, bahwa kamu melawan Allah. Nasehat itu diterima” (KIS. 5: 38-39).
Gamaliel berangkat dari pelajaran sejarah, bahwa semua kelompok yang bukan datangnya dari Allah, ketika pemimpin mereka telah teraniaya dan terbunuh, maka kelompok itu akan bubar dengan sendirinya, tetapi penderitaan Yesus di kayu salib, justru menjadi sumber kekuatan dan sumber pemberitaan bagi semua Rasul dalam pemberitaan mereka, bahkan pada akhirnya “menderita bagi Kristus” menjadi suatu cara hidup para Rasul dan orang Kristen mula-mula. Mengapa penderitaan, himpitan, penganiayaan dan sengsara tidak menggugurkan iman para Rasul dan orang percaya? Karena mereka mengerti maksud dari semuanya itu!
Stephanus adalah martir pertama dalam gereja mula-mula. Disaat gereja dianiaya oleh orang-orang Yahudi, ia dituduh menghujat Allah dan dijatuhi hukuman mati. Stephanus dengan tegas dan berani berkhotbah membela perkaranya dan memberitakan Yesus Kristus.
Ketika Ia akhirnya dirajam batu hingga mati. Bagaimana dampak kematian itu? Stephanus menerima kematiannya sebagai suatu konsekuensi iman yang diimaninya. Jemaat mula-mula yang menyaksikan keberanian Stephanus dalam kesaksian pembelaanya, justru iman mereka semakin dikuatkan. Saulus/Paulus yang saat itu adalah penganiaya jemaat dan menjadi penuduh dan saksi kematian Stephanus justru mulai memikirkan keberanian Stephanus. Kematian Stephanus akhiirnya menjadi titik awal atau benih Injil dalam kehidupan Paulus, dan akhirnya lewat kematian Stephanus melahirkan orang Kristen baru yaitu Paulus.
Dari kematian Stephanus ini, kita menarik kesimpulan bahwa, itu adalah rencana iblis untuk menghambat Gereja, tetapi Allah justru mengijinkan hal itu terjadi, Stephanus menerimanya, iman jemaat dikuatkan dan akhirnya melahirkan orang beriman lainnya. Stephanus tidak mati sia-sia, penderitaannya menguatkan dan menjadi benih orang percaya baru.
Sebagai orang beriman, marilah kita berdoa senantiasa agar diajauhkan pencobaan yaitu  derita dan sengsara, tetapi jikalau hal itu tidak dapat terelakkan dalam kehidupan kita, baikklah kita menyingkapinya dengan iman. Memposisikan Allah pada posisi yang seharusnya dalam suka maupun duka didalam hidup kita. Dan biarkanlah kehidupan kita menjadi kesaksian baik bagi orang yang belum percaya, maupun jemaat. Biarkanlah Allah tetap dimuliakan dalam duka dan sengsara, kalau hal itu datang dalam kehidupan kita. Amin. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar:

Liturgi Ibadah Minggu

  1.    Ajakan Beribadah: “carilah Tuhan selama Ia berkenan ditermui, berserulah kepada-Nya selama Ia dekat” (Yes. 55: 6). 2.    Lagu ...