Perlukah
orang percayamengetahui bahwa derita dan sengsara yang dialaminya adalah
pencobaan iblis ataukah ujian dari Allah?
Percakapan
Ayub dengan keempat sahabatnya di sepanjang derita dan sengsara yang
dialaminya, yaitu upaya menyingkapi apakah hal itu adalah ujian ataukah
pencobaan iblis, dimana para sahabat menuduh bahwa semua sengsara itu karena
dosa Ayub, dan derita yang dialami Ayub adalah hukuman dari Allah.
Percakapan
Ayub dengan para sahabatnya, mungkin juga sering terjadi disepanjang sejarah
kehidupan beriman orang percaya. Ada kesulitan memahami setiap derita dan
sengsara.
Dalam
kisah Ayub, kesulitan memahami semua ini, dikarenakan pandangan umum manusia bergama bahwa, orang saleh,
orang beriman, orang percaya, tidak akan mengalami semua kesulitan, derita, dan
sengsara. Ketika semua itu menimpa Ayub yang dikenal sebagai orang saleh pada
jamannya, apa yang menjadi pandangan umum orang beragama, menjadi runtuh.
Pondasi
iman Kristen adalah Kristus yang kita kenal lewat kesaksian para Rasul. Para
Rasul adalah orang-orang pilihan Kristus sendiri, dan mereka adalah orang-orang
yang sangat dikasihi, tetapi kenyataan bahwa hanya Yohanes yang mati layaknya
orang normal pada umumnya, dan sisanya mati dalam sengsara. Apakah derita dan
sengsara yang dialami oleh para Rasul hingga kematian mereka, adalah ujian
Allah ataukah pencobaan ibllis? Apakah Allah menguji orang beriman hinga
kematian?
Bagaimana kita
dapat membedakan ujian dan pencobaan?
1.
Dimanakah posisi Allah?
Dalam
bukunya “The Corange to be Protestant: Truft-lovers, marketers, and Emegrants
in the Postmodern World”, David F. Wells membahas satu point mengenai Allah
sebagai “Pusat yang Hilang” di dunia postmodern, yaitu dunia dimana kita berada
saat ini. Kaum Postmodern mengatakan bahwa alam semesta ini tidak memiliki
pusat. Hal ini bertentangan dengan pandangan Alkitab bahwa “satu-satunya alasan
yang menjadikan kehidupan memiliki harapan, ialah karena dunia memiliki pusat
yaitu Allah” (Rom. 11: 36).
Budaya,
situasi dan kondisi di dunia ini terus berubah, tetapi orang percaya harus
memposisikan Allah pada posisi yang tepat dalam hidup mereka. Posisi Allah
dalam hidup seseorang yang akan menentukan bagaimana ia menyingkapi hal-hal
yang terjadi dalam hidupnya.
Mengatakan
dunia ini kosong, menjadikan hidup kosong, mengatakan dunia ini tidak memiliki
pusat, menjadikan hidup tidak memiliki arah dan pengharapan.
Dimanakah
posisi Allah? apakah Allah tetap menjadi pusat kehidupan kita? termaksud ketika
kesulitan, penderitaan & sengsara terjadi dalam hidup kita. Ketika Ayub
mengatakan: “dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang
pula aku akan kembali kedalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil,
terpujilah nama Tuhan” (Ayub. 1: 21). Ayub memposisikan Allah sebagai sumber
segala sesuatu dalam hidupnya dan sebagai pusat hidupnya.
Kisah
di Getsemani menunjukkan kepada kita bagaimana Tuhan Yesus menyingkapi
sengsara. Tuhan Yesus tidak menghendaki sengsara, Tuhan Yesus takut melewati
sengsara itu, Tuhan Yesus memohon kepada Bapa untuk melaukan Dia dari sengsara,
tetapi jika Allah menghendaki-Nya untuk tujuan mulia Allah, maka Ia
menerima-Nya dengan taat. “Ya Bapa-Ku,
jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari dari pada-Ku; tetapi bukanlah
kehendak-Ku, malainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk. 22: 42). Allah Bapa
dan rencana Agung-Nya adalah pusat hidup
Yesus. Tuhan Yesus mengatakan: “makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang
mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh. 4: 34).
Pencobaan
dan ujian dapat disingkapi berdasarkan dimana posisi Allah dalam hidup orang
yang mengalaminya. Ketika sengsara itu datang dan orang yang mengalaminya
mulai, mengabaikan Firman Allah, mulai menuduh Allah berlaku tidak adil, ketika
seseorang mulai mengatakan bahwa Allah tidak peduli dengan apa yang dialaminya,
maka kemudian ia akan membelakangi Allah dan mencari pertolongan diluar Allah.
Saul
adalah contoh yang diberikan Alkitab mengenai seseorang yang membelakangi Allah
ketika menghadapi kesulitan dan penderitaan. Pada mulanya Saul mengabaikan
Firman Allah dan ketetapan Allah, bahwa hanya Lewi yang memiliki kewenangan
dari Allah untuk mempersembahkan korban.(I Sam. 13: 1-22), pada akhirnya Saul
justru mencari pertolongan kepada petenung wanita (I Sam 28: 1-25). Itulah
sebabnya Roh Allah meninggalkan dia dan membiarkannya menyelesaikan
permasalahannya sendiri, hingga ia terbunuh di mendan perang dan tahta tidak
jatuh pada anak-anaknya, tetapi kepada Daud.
Daud
adalah orang menjadikan Allah sebagai pusat hidupnya, termaksud ketika sengsara
dan masa-masa terjepit sekalipun, ia tetap menempatkan Allah sebagai sentral
hidupnya.
Ketika
Daud dikejar-kejar Saul dan harus berlindung pada Akhis orang Filistin, orang
Amalek menyerang dan menawan seluruh anak dan istri Daud dan pengikutnya,
ketika mereka sedang tidak berada di tempat. Daud dan pengikutnya menangis, dan
Daud sangat terjepit karena semua pengikutnya mengatakan akan melempari dia
dengan batu (I Sam. 30:6), tetapi Daud tetap bertanya kepada Allah apa yang harus
dilakukannya.
Jika
Allah sudah tidak menjadi sentral dalam hidup orang yang mengalami derita dan
sengsara, maka jelas apa yang dialaminya pasti akan menjadi pencobaan yang
meruntuhkan dan menjatuhkan dia.
2.
Bagaimana kita menyingkapinya.
Dari
kisah Ayub kita saksikan, bahwa ujian dan pencobaan itu kadang terjadi dalam
satu perkara. Kita menolak bahwa Allah bekerja sama dengan Iblis, yang ada
adalah: Allah tetap mengontrol segala sesuatu, termaksud apa yang dikerjakan Si
Iblis. Allah sedang memperlihatkan “iman, anugerah-Nya, lebih besar dari pada
kuasa penghancuran yang dinyatakan dalam penderitaan yang sedang dikerjakan
Iblis”.
Apa
yang terjadi dalam kehidupan Ayub adalah rencana iblis yang diijinkan Allah, tetapi
bagaimana Ayub menyingkapi sengsaranya, menjadikan pencobaan itu menjadi ujian
imannya.
Bagaimana
kita memahami kisah Ayub? Pada pasal 1 dikisahkan percakapan Iblis dan Allah.
Banyak orang memahami kisah kehidupan Ayub seakan-akan menjadi ladang
pertaruhan Iblis dan Allah. Ini adalah pandangan yang sesat. Allah tidak
mungkin akan menjadikan kehidupan orang-orang yang dikasihi-Nya sebagai
taruhan. Penulis akan memberikan suatu drama untuk memahami kisah Ayub:
Kita
mengandaikan Allah bagaikan seorang tuan kaya raya yang memiliki harta yang
dibanggakan, yaitu logam mulia atau emas dan batu-batu mulia. Tuan yang kaya
raya itu sangat banngga dan menyayangi hartanya tersebut. Suatu saat datanglah
seorang pencemooh dan mengatakan bahwa logam mulia yang dimiliki oleh tuan yang
kaya raya itu sebagai emas palsu dan batu mulianya hanya batu biasa dan batu
obsidian.
Apa
yang akan saudara lakukan jika anda yang memiliki batu mulia dan logam mulia
yang anda anggap sebagai kekayaan, tetapi kemudian seseorang mengatakan sebagai
logam biasa dan batu biasa? Tentunya adalah mengijinkan batu mulia dan logam
mulia anda di uji. Batu mulia akan diuji tingkat kekerasannya, tetapi bukan
dengan palu yang menghancurkannya. Demikian juga logam mulia hanya bisa di uji kemuliaannya
dengan api.
Bagi
Allah, orang beriman dan orang saleh adalah seperti logam mulia dan permata
mulia, mereka dibanggakan, dikasihi, dan ditaruh secara khusus dalam hati
Allah. Itulah sebabnya mengapa baju rompi ada tatakan batu mulia berjumlah 12,
dimana setiap batu mulia itu melambangkan setiap suku, mereka harus ditatah di
dada para imam yang dekat tempat hati, sebagai lambang hati Allah bagi
Israel.
Dalam
kisah Ayub; Allah membanggakan Ayub dan bertanya kepada Iblis: “apakah engkau
memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorang pun di bumi seperti dia, yang
demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan”
(Ayub.1: 8). Demikianlah kita memahami kisah Ayub, dimana posisi Allah, dimana
posisi Iblis dan Ayub.
Bagaimana
Ayub menyingkapi sengsaranya? Tentu bahwa pengetahuan Ayub terbatas; tetapi
pendangan teologi Ayub adalah poin penting bagaimana ia menyingkapi
sengsaranya.
Ketika
sengsara itu datang, Ayub mengoyakkan jubahnya dan menaruh abu pada kepalanya
sebagai tanda duka yang mendalam dan berkata: “dengan telanjang aku keluar dari
kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya: Tuhan yang
memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan” (Ayub. 1: 21).
Ayub
mengakui bahwa semua yang ada dalam hidupnya, termaksud hidupnya itu sendiri,
adalah anugerah Allah. Oleh karena itu, Allah berhak atas apapun dalam hidupnya
dan Allah tidak pernah salah ketika mengambil apapun dalam hidupnya. Ketika
sengsara diijinkan Allah terjadi pun, Allah tidak pernah salah. Pandangan
teologis Ayub adalah sederhana, jujur dan logis.
Jika
setiap orang percaya memiliki pandangan teologi seperti Ayub, maka setiap orang
percaya akan mengikuti Tuhan dalam pujian syukur dalam suka duka, atau mengucap
syukur dalam segala hal, termaksud tetap mengucap syukur dimasa sengsara.
Jika
pencobaan dari Iblis datang, dan sebagai orang beriman kita menyingkapinya
dengan iman dan bersama Allah, maka pencobaan itu telah menjadi ujian iman,
yang justru akan memurnikan iman dan memuliakan hidup kita. Tujuan Iblis yang
membuat hidup kita sengsara tidak akan pernah tercapai, tetapi dengan iman kita
akan berkata: “maut dimana sengatmu”.
3.
Apa Dampak Sengsara
Kita Bagi Orang Beriman Lainnya?
Ujian
iman dari Allah adalah hal penting dalam iman, oleh karena itu, tidak mungkin
siatuasi ini tanpa makna, tanpa pengertian dan hanya menyisakkan penderitaan,
sakit dan sengsara semata. Ada nilai besar dibanding dengan dengan semua derita
itu. Rasul Paulus mengatakan: “sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman
sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuiaan yang akan dinyatakan
kepada kita” (Rom. 8: 18).
Rencana
Allah kadang sulit dipahami, tetapi bukan tidak dapat dipahami. Tak ada
seorangpun orang beriman yang pernah melihat sorga, tetapi bukan berarti orang
percaya tidak memahami sorga. Demikian pula dengan keselamatan kita, walau
belum genap terjadi, tetapi pasti.
Allah
tidak akan mengijinkan sesuatu hal besar terjadi dalam kehidupan orang percaya
tanpa dipahami maksud dan tujuannya. Derita dan sengsara yang terjadi dalam
ujian iman, pasti dapat dipahami oleh orang beriman yang mengalaminya, baik secara
Alkitabiah maupun secara pribadi (I Ptr. 2; 19).
Walau
ternyata pikiran para sahabat Ayub salah dalam memahami sengsara yang dialami
Ayub, bahwa semua sengsara itu terjadi sebagai hukuman Allah atas kesalahan
Ayub, tetapi ada maksud utama dari sengsara itu yang dipahami oleh mereka
yaitu: Allah tidak pernah salah, agar Ayub merendahkan diri dihadapan Allah.
Mengapa
para murid tidak mundur dan tercerai-berai ketika Tuhan Yesus telah mati?
Gamaliel menasehati mahkama agama yang menyidangkan para Rasul setelah Yesus
mati: “..janganlah bertindak kepada orang-orang ini. biarkanlah mereka, sebab
jika maksud dan perbuatan mereka berasal dari manusia, tentu akan lenyap,
tetapi kalau berasal dari Allah, kamu tidak akan dapat melenyapkan orang-orang
ini; mungkin ternyata jika nanti, bahwa kamu melawan Allah. Nasehat itu
diterima” (KIS. 5: 38-39).
Gamaliel
berangkat dari pelajaran sejarah, bahwa semua kelompok yang bukan datangnya
dari Allah, ketika pemimpin mereka telah teraniaya dan terbunuh, maka kelompok
itu akan bubar dengan sendirinya, tetapi penderitaan Yesus di kayu salib,
justru menjadi sumber kekuatan dan sumber pemberitaan bagi semua Rasul dalam
pemberitaan mereka, bahkan pada akhirnya “menderita bagi Kristus” menjadi suatu
cara hidup para Rasul dan orang Kristen mula-mula. Mengapa penderitaan,
himpitan, penganiayaan dan sengsara tidak menggugurkan iman para Rasul dan
orang percaya? Karena mereka mengerti maksud dari semuanya itu!
Stephanus
adalah martir pertama dalam gereja mula-mula. Disaat gereja dianiaya oleh
orang-orang Yahudi, ia dituduh menghujat Allah dan dijatuhi hukuman mati.
Stephanus dengan tegas dan berani berkhotbah membela perkaranya dan
memberitakan Yesus Kristus.
Ketika
Ia akhirnya dirajam batu hingga mati. Bagaimana dampak kematian itu? Stephanus
menerima kematiannya sebagai suatu konsekuensi iman yang diimaninya. Jemaat
mula-mula yang menyaksikan keberanian Stephanus dalam kesaksian pembelaanya,
justru iman mereka semakin dikuatkan. Saulus/Paulus yang saat itu adalah
penganiaya jemaat dan menjadi penuduh dan saksi kematian Stephanus justru mulai
memikirkan keberanian Stephanus. Kematian Stephanus akhiirnya menjadi titik
awal atau benih Injil dalam kehidupan Paulus, dan akhirnya lewat kematian
Stephanus melahirkan orang Kristen baru yaitu Paulus.
Dari
kematian Stephanus ini, kita menarik kesimpulan bahwa, itu adalah rencana iblis
untuk menghambat Gereja, tetapi Allah justru mengijinkan hal itu terjadi,
Stephanus menerimanya, iman jemaat dikuatkan dan akhirnya melahirkan orang
beriman lainnya. Stephanus tidak mati sia-sia, penderitaannya menguatkan dan
menjadi benih orang percaya baru.
Sebagai orang
beriman, marilah kita berdoa senantiasa agar diajauhkan pencobaan yaitu derita dan sengsara, tetapi jikalau hal itu
tidak dapat terelakkan dalam kehidupan kita, baikklah kita menyingkapinya
dengan iman. Memposisikan Allah pada posisi yang seharusnya dalam suka maupun
duka didalam hidup kita. Dan biarkanlah kehidupan kita menjadi kesaksian baik
bagi orang yang belum percaya, maupun jemaat. Biarkanlah Allah tetap dimuliakan
dalam duka dan sengsara, kalau hal itu datang dalam kehidupan kita. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar: