Bukan Urusanmu!
Yoh. 21: 20-23
“Kalau Aku menghendaki, ia tinggal
hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu Tetapi engkau: ikutlah Aku” atau
dalam bahasa sekarang dapat kita katakan “urus urusanmu sendiri” (Yoh. 21; 22),
adalah jawaban Yesus ketika Petrus
bertanya apa yang akan terjadi dengan murid yang dikasihi (Yohanes).
“Urus urusanmu sendiri”
kedengarannya sangat egois, tetapi jika kita jujur, bahwa ada urusan dan
tanggung jawab setiap manusia yang harus diselesaikannya sendiri dan ada batasan
setiap pribadi untuk mengurus pribadi lainnya, terutama kaya Allah bagi setiap manusia.
Bagaimana kita memahami perkataan
Tuhan Yesus ini secara benar? Tentunya adalah merenungkan bagaimana latar
belakang pertanyaan itu. Kita sering salah dalam memahami jawaban Yesus, sebab
kita terbiasa menjawab pertanyaan, hanya berdasarkan kata dari pertanyaan
tersebut. Tetapi Tuhan Yesus selalu menjawab pertanyaan, menurut maksud orang
yang bertanya, bahkan, maksud yang tersembunyi dari pertanyaan, atau motifasi
orang yang sedang bertanya. Ada beberapa pertanyaan yang harus kita ajukan
untuk memahami jawaban Yesus ini: “Apakah pertanyaan Petrus didasari karena
kepeduliannya kepada Yohanes dan untuk kepentingan Yohanes, ataukah demi kepentingannya
sendiri?
Jika kita membaca kontek ini, maka
pada ayat 20 dituliskan mengenai apa yang pernah terjadi di perjamuan terakhir,
dimana Petrus meminta murid yang dikasihi (Yohanes) bertanya kepada Yesus,
siapa yang akan menyerahkan Dia untuk disalib. Petrus tidak bertanya sendiri,
sebab ia sedang was-was karena baru saja Yesus mengingatkan dia bahwa, sebelum
ayam berkokok tiga kali, ia telah menyangkal Yesus tiga kali. Petrus meminta
Yohanes bertanya kepada Yesus, bukan untuk kepentingan Yohanes, tetapi untuk
dirinya.
Jawaban Yesus kepada pertanyaan Petrus,
adalah suatu jawaban yang sangat keras, bahkan bukan bersifat jawaban, tetapi lebih kepada teguran. Apa maksud dari
jawaban Yesus ini:
1. Membandingkan pribadi yang satu dengan lainnya adalah racun pertumbuhan.
Membandingkan adalah suatu proses
dasar logika manusia. Membandingkan jumlah, membandingkan baik atau buruk,
membandingkan indah dan jelek, itu adalah tahap awal pertumbuhan manusia, tetapi
dalam batas tertentu mengenai “pribadi”, membandingkan adalah hal yang buruk
dan menghancurkan pertumbuhan pribadi tersebut.
Membandingkan anak yang satu
dengan yang lain, adalah buruk. Jika perbandingan tersebut meletakkan anak
lebih dari anak yang lain, maka kita sedang memupuk kesombongan dan
superioritas. Meletakkan anak dibawah anak yang lain, kita sedang memupuk
inferioritas, merendahkan, dan kita sedang membentuk keminderan dalam hati anak-anak kita. Karena
setiap pribadi adalah unik, khusus dan bersifat pribadi.
Membandingkan pribadi harus
berdasarkan pertimbangan kebenaran yang objective dan adil. Kata Tuhan Yesus: “camkanlah
apa yang kamu dengan! ukuran yang engkau pakai untuk mengukur akan diukurkan
kepadamu, dan disamping itu akan ditambah lagi kepadamu” (Mrk. 4: 24). Ketika
anak-anak Yakub lainnya, membandingkan diri mereka dengan Yusuf, maka timbullah
kecemburuan yang berakibat kejahatan pembunuhan. Ketika Kain membandingkan
perlakuan Allah terhadapnya dan Habel, maka hasilnya adalah penumpahan darah. Ketika
jemaat Korintus membandingkan pemimpin mereka, antara Petrus, Paulus dan
Apolos, maka yang ada adalah perpecahan.
Mengapa Petrus bertanya kepada
Tuhan Yesus, apa yang akan terjadi dengan Yohanes? Apakah ia peduli dengan
nasib Yohanes? Ataukah ia mengasihi Yohanes seperti Yesus mengasihi Yohanes?
Tidak! Para murid selalu berebut posisi diantara mereka, diantaranya adalah
perdebatan tentang siapa nanti yang terbesar dianatara mereka di kerajaan
Allah. Bahkan Ibu Yohenes dan Yakobus meminta agar kedua anaknya menempati
tempat tertinggi disisi Tuhan Yesus, satu di kiri dan satu di kanan (Mat. 20:
20-28).
Petrus tahu betul bahwa Tuhan Yesus
mengasihi Yohanes, dan ia selalu mempergunakan itu, untuk tujuannya, seperti
meminta murid yang dikasihi untuk bertanya “siapa yang akan menyerahkan Yesus untuk
untuk disalibkan”. Pertanyaan Petrus
mengenai nasib Yohanes adalah bentuk perbandingan atau Ia sedang mencari cermin
bagi nasibnya sendiri.
Dalam pertumbuhan iman, ketika kita
membandingkan diri kita dengan orang beriman lain, maka kita sedang menghancurkan
dan mengakibatkan iman kita mati, baik kita membandingkan kurang atau
membandingkan lebih, semua akan berdampak buruk.
Banyak orang yang imannya hancur
dan tidak bertumbuh, justru ketika ia membandingkan dirinya dengan orang
beriman lainnya. Mengapa aku tidak seperti dia? bukankah aku juga setia seperti
dia? tetapi mengapa ia sehat dan aku sakit? dia berkelimpahan dan aku
kekurangan?.
Jika kita mau membandingkan diri,
maka pertanyaanini adalah: apa ukuran yang engkau pakai? Apakah engkau tahu kehidupan
doa saudaramu ditempat yang kita tidak lihat? Apakah engkau tahu bagaimana
sikapnya terhadap orang miskin? Apakah engkau tahu bagaimana ia bekerja keras?
Apakah engkau tahu bagaimana ia berkorban untuk sahabat-sahabatnya? Apakah engkau
tahu bagaimana kerasnya ia belajar untuk menjadi professional? Apakah engkau
tahu bagaimana kebiasaan makannya yang selalu sehat? apakah engkau tahu
bagaimana ia berpikir positif terhadap segala sesuatu, sehingga pikirannya jauh
dari kuatir yang menggerogoti tubuh? Kita
tentu tidak tahu semuanya! Oleh karena itu, jangan cepat menyamakan dirimu
dengan saudara beriman lainnya, karena begitu dalamnya ukuran yang engkau harus
pakai untuk mengukurnya. Oleh karena itu, tidak bijak melihat orang lain, lalu
meminta berkat yang sama dari Tuhan.
Bijaklah, syukurilah,
pergunakanlah sebaik mungkin, apa yang Tuhan telah berikan kepadamu, dan jangan
habiskan waktu untuk mengingini apa yang diberikan Allah kepada saudaramu,
walau mungkin kasih Allah yang dicurahkan kepadamu berbeda dengan yang
dicurahkan kepada saudara seimanmu yang lain. Sadarilah! “Allah juga
mengasihimu, menurut kerelaan kuasa-Nya”.
2Semua
adalah pemberian.
Ketika orang muslim mendengar
kabar duka, maka mereka akan mengatakan: “inna ilahi wa inna ilahi rajiun”. Jauh
sebelum Kristen dan Islam, perkataan seperti ini telah ada dalam iman Israel,
yaitu perkataan: “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Terpujilah nama
Tuhan” (Ayub.1: 21. Inilah perkataan dalam Alkitab yang dikatakan Ayub ketika
pertama mendengar kabar duka. Kata Ayub ini adalah suatu kesadaran bahwa
“segala suatu dari Allah, dijinkan Allah dan Allah selalu dimuliakan, dan tidak
dapat digugat oleh siapapun atas setiap keputusan-Nya. Rasul Paulus mengatakan:
“sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: bagi
Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya (Rom. 11: 36).
Tuhan Yesus memberi satu
perumpamaan mengenai seorang tuan yang mengajak para pengangguran miskin
bekerja di ladangnya, dengan kesepakatan upah satu dinar sehari kerja, ada yang
bekerja sedari pagi, ada yang sejak siang, ada yang sejak jam tiga sore dan jam
lima sore, tetapi ketika pemberian upah, sang tuan memberi kepada semua pekerja
satu dinar, maka proteslah para pekerja yang bekerja sejak dari pagi, mengapa
upah mereka sama, pada hal sejak semula sang tuan yang murah hati tersebut
telah membuat kesepakatan dengan mereka. Sang tuan menjawab pada pekerja yang
memprotes tersebut “Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak
hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” (Mat. 20: 15). Demikianlah
gambaran Allah sebagai pribadi yang murah hati, yang memberikan segala sesuatu
kepada manusia , dan Ia berhak serta berkuasa untuk memilih kepada siapa Ia berikan,
dan kepada siapa Ia tidak berkehendak memberikan, dan Ia berkuasa menetapkan
berapa yang akan diberikan-Nya.
Sebagai orang percaya, kita sadar
bahwa segala sesuatu dalam hidup kita adalah “pemberian Allah”, pemberian
adalah “anugerah” sebab bukan berdasar usaha kita memperolehnya.
Hanya satu hal yang benar bagi
orang yang menerima “anugerah”, yaitu “ungkapan syukur” atas apa yang telah
diberikan, bukan sungut-sungut dan kutukan atas apa yang tidak diberikan, atau
tuntutan dan kecemburuan atas apa yang diberikan Tuhan kepada orang lain.
Demikian pula terhadap Petrus, Kristus yang bangkit ingin menekankan hal
tersebut.
Ketika Daud menghadapi Goliat, ia
tidak sibuk dengan besarnya badan, dan betapa canggihnya alat perang yang
dipergunakan Goliat. Daud focus pada apa yang ada di tangannya, yaitu umban dan
ia mencari hanya tiga batu yang tepat. Alat sederhana itu yang telah dilatih
sedemikian rupa di padang pengembalaan, akhinya efektif untuk menjatuhkan
seorang pendekar besar, sebab alat tersebut dipergunakan sebaik mungkin. Demikian
pula bagi setiap orang percaya yang masuk ke medan pertempuran apapun, medan
kerja, perdagangan, profesinal, jangan sibuk dengan apa yang dimiliki orang
lain atau saingan, tetapi efektifkanlah apa yang Allah telah berikan di
tanganmu.
3
Uruslah
urusanmu sendiri:
Kata pepatah “rumput
tetangga selalu lebih hijau”. Tuhan Yesus katakan “bukan urusanmu”, urusanmu
adalah ikut Aku. Apakah Tuhan Yesus melarang Petrus untuk peduli kepada
Yohanes? Tentu tidak! Tuhan Yesus tentu tau agenda apa yang melatarbelakangi
pertanyaan itu.
Jika saja Petrus berfokus pada
tugas besar yang Tuhan berikan kepadanya untuk mengembalakan domba-domba-Nya,
maka tentu saja ia akan mulai sibuk dan terus memikirkan bagaimana ia akan
menjalani tugas berat yang diterimanya tersebut, tetapi Petrus lebih menaruh
beban pikiran pada apa yang Tuhan akan lakukan kepada Yohanes. Jawaban keras
Yesus kepada Petrus adalah suatu panggilan untuk focus pada panggilan khusus
Allah padanya.
Dalam dunia
Pendidikan, satu pelajaran mendasar yang terpeenting adalah focus. Focus bukan
saja kata dasar untuk menjadi seorang professional, tetapi juga pelajaran dasar
bagi seseorang yang memiliki tujuan hidup. Banyak orang, bahkan sebagian besar
orang Kristen, hanya sekedar menjalani hidup, tetapi tidak mengerti tujuan
hidup. Seseorang yang tahu akan tujuan
hidupnya, maka ia pasti akan focus
kepada panggilan itu, tidak peduli berapa harga yang harus dibayarnya dan
apapun resiko yang harus ditanggungnya.
Tuhan Yesus adalah
pribadi yang sangat focus dengan tugas yang diberikan Bapa kepada-Nya. Dalam
percakapan-Nya dengan wanita Samaria, ketika murid bertanya kepada-Nya, adakah
orang yang memberikan makanan kepada-Nya? Ia mengatakan “makanan-Ku ialah
melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya (Yoh.
4: 34). Tuhan Yesus juga mau agar Petrus pertama-tama focus pada panggilan yang
diberikan kepada-Nya, yaitu mengembalakan domba-domba Kristus dan
menyelesaikannya.
Seorang pekayan toko
pakaian terkenal, suatu saat muncul di koran karena tindakannya melayani dengan
setia seorang tuna wisma yang tidak memiliki uang. Wanita tuna wisma tersebut hanya
mencoba-coba baju mahal di toko dimana ia bekerja. Walau wanita tuna wisma
tersebut berpakaian dekil, ia tetap setia melayaninya sebagai tamu. Apa yang
dilakukan oleh pelayan tersebut diperhatikan oleh seorang wartawan yang
akhirnya mewawancarainya. Ketika pelayan tersebut diwawancarai mengapa dia
melakukan hal tersebut, sang pelayan muda itu berkata: tugas yang diberikan
pemimpin toko kepadanya adalah melayani setiap tamu sebaik-baiknya, dan bukan
menilai para tamu apakah mereka memiliki uang atau tidak, pantas atau tidak
pantas. Karena focus pada tugasnya tersebut maka pelayan tersebut disebut oleh
koran local sebagai “pelayan professional”.
Dalam pelayanan,
banyak orang Kristen hanya focus pada apa yang mereka sukai, mereka hanya mau
melayani dibidang yang mereka sukai, bukan focus pada apa yang Tuhan mau mereka
lakukan. Apa yang Tuhan mau kita lakukan? hal itu dapat dilihat dari
perlengkapan apa yang Tuhan berikan kepada kita. Seorang yang fasih lidah,
kemungkinan besar diperlengkapi Tuhan untuk pekerjaan pengkhotbah, seorang yang
cakap mengajar kemungkinan besar dipanggil untuk menjadi pengajar. Begitu pula dengan pelayanan yang lain.
Hendaklah setiap
orang beriman mengetahui, bahwa dirinya adalah “pribadi” dihadapan Allah. Apa
yang dimaksud dengan pribadi itu? Bahwa Allah memiliki tujuan khusus bagimu,
hendaklah setiap orang percaya mengetahui bahwa kita tidak dapat menjadi
segala-galanya, kita bukan segala sesuatu, tetapi kita bisa melakukan sesuatu.
Orang yang ingin menjadi segala sesuatu akhirnya menjadi orang yang tidak
mengerjakan sesuatu apapun. Tugas apa yang Tuhan telah berikan kepadamu, itu
adalah tujuan hidupmu. Oleh karena itu. Fokuslah menjalaninya dan
selesaikanlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar: